Hampir semua tenaga kerja di Kabupaten Serang tahu, bahwa UMK Serang tahun 2010 sebesar Rp. 1.101.000.00. Namun seperti apa proses didalamnya sehingga bisa keluar angka sebesar itu, tidak banyak yang tahu. Kalau saja kartu XL ini bisa berbicara, tentu ia akan menceritakan proses penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Serang tahun 2010. Namun sayang, suaranya tidak terdengar. Kata-katanya tidak mampu kita pahami, meskipun ia merupakan saksi kunci penetapan UMK yang selalu ditunggu jutaan tenaga kerja dan keluarganya.
”Perjuangan kita tahun ini sangat berat. Apalagi hasil survey Kebutuhan Hidup Layak yang menjadi dasar penetapan UMK sangat rendah,” ujar Isbandi Anggono, Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Serang dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Sekedar diketahui, bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan atau Bupati/Walikota. Dewan pengupahan sendiri merupakan lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dimana keanggotannya meliputi perwakilan Pemerintah, unsur organisasi Pengusaha, dan unsur Serikat Pekerja, ditambah dengan seorang akademisi dari perguruan tinggi.
Itulah sebabnya, sebagai Koordinator Umum Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS), sebuah element ketenagakerjaan di Kabupaten Serang yang salah satu fungsingnya sebagai lembaga riset dan analisis kebijakan ketenagakerjaan di tingkat lokal, tentu saya memiliki kepentingan untuk terus berkomunikasi dengan teman-teman unsur serikat pekerja yang duduk di dalam Dewan Pengupahan. Apalagi, kami memiliki kode etik bahwa anggota Dewan Pengupahan adalah wakil serikat pekerja, maka ia tidak boleh membuat keputusan diluar yang telah digariskan oleh organisasi serikat pekerja.
Dengan demikian tidak ada pilihan lain, komunikasi dan konsolidasi harus dilakukan dengan lebih intensif, khususnya pada saat Dewan Pengupahan mengadakan rapat pleno untuk menentukan besarnya upah minimum. Hampir setiap menit perkembangan rapat bisa terjadi, maka komunikasi menjadi sedemikian penting. Dan media yang kami pilih untuk melakukan komunikasi jatuh kepada XL.
FSBS memiliki sebuah Divisi Dokumentasi, Publikasi, dan Komunikasi. Divisi inilah yang menyediakan seluruh alat komunikasi yang dibutuhkan oleh seluruh Staff dan mitra kerja FSBS. Dimana setiap orang mendapatkan fasilitas handphone lengkap dengan kartu pra bayar XL. Pengadaan fasilitas ini sangat mendukung kinerja kami, karena kami bisa melakukan komunikasi secara cepat dengan harga yang murah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau setiap orang menggunakan operator yang berbeda-beda. Bisa jadi komunikasi akan terganggu, karena belum apa-apa sudah khawatir akan terjadi pembengkakan biaya.
”Usulan kita ditolak,” Argo Priyo Sujatmiko, anggota Dewan Pengupahan yang juga Koordinator Politik Hukum dan HAM di FSBS menginformasikan melalui handphone. Saat itu saya sedang makan siang di sekitar kawasan Modern Cikande Industrial Estate.
”Kalau bisa jangan buru-buru diputuskan hari ini. Saya dengar, di Kabupaten Tangerang juga belum ada kesepakatan,” sahut Abu Gybran, Anggota Badan Pertimbangan FSBS yang berada di Tangerang.
Kami memang sering berkomunikasi dengan sistem konferensi, berkomunikasi dengan dua orang lebih dalam satu pembicaraan. Apalagi, dalam penetapan UMK, besarnya upah minimum di daerah sekitar juga menjadi salah satu bahan pertimbangan. Koordinasi dengan beberapa kawan di Tangerang, Cilegon, bahkan kantor induk organisasi di Jakarta bisa dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Dibalik proses penetapan UMK, peran media telekomunikasi menjadi sangat penting. Makanya saya suka tersenyum ketika mendengar UMK dijadikan bahan pembicaraan orang, sebab dengan sendirinya kenangan bersama XL muncul secara tiba-tiba.
Apalagi ketika Junaedi, Sekretaris DPC Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Serang mengatakan, bahwa ”Menggunakan XL bukan sekedar murah. Namun ia memiliki nilai filosofi yang tinggi. XL kan juga bisa juga diartikan besar, maka dengan menggunakan XL, kita berharap upah yang kita perjuangkan akan menjadi besar.”
Ditulis oleh: Kahar S. Cahyono
Tulisan ini diikutsertakan dalam XL Awward Competition 2009
04 Desember 2009
01 Desember 2009
Belajarlah Dari Daerah
Tulisan ini untuk menanggapi Trade Unions Meeting for Political Consensus/Tumpoc (Pertemuan Serikat Buruh untuk Konsensus Politik) di harian Kompas, 1 Desember 2009. Sebuah pertemuan “spektakuler” yang dihadiri penjabat sementara Ketua Umum KSPSI Mathias Tambing, Presiden KSPI Thamrin Moosi, Presiden KSBSI Rekson Silaban, dan elite buruh dari 35 federasi serikat buruh untuk membahas berbagai dinamika serikat pekerja. Pertemuan berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, tanggal 23 - 24 November 2009
Sejak Presiden BJ Habibie meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pascareformasi, diikuti lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serikat buruh di Indonesia tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hal itu wajar karena undang-undang itu mengizinkan sedikitnya 10 orang membentuk serikat buruh. Sampai bulan Juni 2007, ada tiga konfederasi serikat buruh, 86 federasi serikat buruh, dan 11.000 serikat buruh/serikat pekerja tingkat perusahaan.
KSPSI mewadahi 13 federasi dan mengklaim memiliki sedikitnya 4 juta anggota, KSPI dengan 10 federasi dengan sekitar 2 juta anggota, dan KSBSI memiliki sedikitnya 2 juta anggota. Namun, pemerintah memperkirakan pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja baru 4 juta orang, dari sekitar 30 juta pekerja formal. Kondisi paradoks yang terjadi semakin merugikan buruh. Serikat buruh baru terus lahir, padahal minat pekerja berserikat semakin merosot. Pada sisi lain, perjuangan merebut simpati buruh pun lambat laun berubah menjadi persaingan tidak sehat. Untunglah, para elite buruh menyadari hal ini dan bertekad berbuat sesuatu sebelum terlambat..
Menurut Rekson, seperti dikutip Kompas, kehadiran para pimpinan serikat buruh nasional itu sangat penting untuk mereposisi gerakan buruh Indonesia. “Kami harus berbuat sekarang supaya tidak dipersalahkan oleh generasi penerus karena tidak melakukan apa-apa untuk memperkuat gerakan buruh Indonesia. Tak akan ada pihak yang mau mendengar suara gerakan buruh kalau serikat buruh terfragmentasi,” katanya.
Soliditas di Tingkat Lokal
Tentu saja, kita berharap agar persatuan di tingkat nasional tidak sebatas retorika dan wacana. Mereka memang harus segera menyadari, bahwa saat ini anggota serikat pekerja semakin jauh berkurang. Bahkan sebagian besar yang lain kehilangan minat untuk berserikat. Pun demikian, suaranya tidak lagi banyak didengar.
Saya membayangkan kondisi serikat pekerja di Serang, Banten. Disana, pertemuan yang dihadiri para pucuk pimpinan organisasi serikat pekerja yang ada di Serang bahkan dilakukan hampir tiap bulan, dan sudah berlangsung sejak empat tahun yang lalu. Mereka membentuk Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang, yang terdiri dari FSPMI, FSP-KEP, KSPSI, KSBSI, dan SPN. Bahkan, pada rapat terakhir yang diselenggarakan di Bhayangkara – Serang, juga nampak hadir Ketua Korwil Federasi Serikat Buruh Banten (FSBB) Kab. Serang.
Mereka biasa mengerjakan isu-isu strategis secara bersamaan. Terbukti lebih efektif, dan hasilnya juga lebih baik.
Memang perbedaan pandangan tidak bisa terhindarkan. Namun pesan yang ingin disampaikan, bahwa persatuan dan soliditas gerakan bisa diwujudkan. Sebab nyatanya, di tingkat lokal, sudah ada yang berhasil menjalankan.
Beberapa kali, saya juga pernah mendengar bahwa ada beberapa induk organisasi di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat) yang tidak merestui anggotanya membentuk aliansi dengan SP/SB lain di tingkat daerah. Saya tidak tahu pasti apa sebabnya, barangkali khawatir di daerah akan melepaskan diri (mendirikan SP/SB baru).
Namun dengan pertemuan Sukabumi, mudah-mudahan hal itu tidak lagi terjadi. Tidak ada yang kuat tanpa persatuan. Maka, memang sudah saatnya bagi kita untuk menghapus jauh-jauh kepentingan pribadi dan egoisme dalam mengelola organisasi.
Oleh: Kahar S. Cahyono
Founder suarasolidaritas.blogspot.com
Sejak Presiden BJ Habibie meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pascareformasi, diikuti lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serikat buruh di Indonesia tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hal itu wajar karena undang-undang itu mengizinkan sedikitnya 10 orang membentuk serikat buruh. Sampai bulan Juni 2007, ada tiga konfederasi serikat buruh, 86 federasi serikat buruh, dan 11.000 serikat buruh/serikat pekerja tingkat perusahaan.
KSPSI mewadahi 13 federasi dan mengklaim memiliki sedikitnya 4 juta anggota, KSPI dengan 10 federasi dengan sekitar 2 juta anggota, dan KSBSI memiliki sedikitnya 2 juta anggota. Namun, pemerintah memperkirakan pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja baru 4 juta orang, dari sekitar 30 juta pekerja formal. Kondisi paradoks yang terjadi semakin merugikan buruh. Serikat buruh baru terus lahir, padahal minat pekerja berserikat semakin merosot. Pada sisi lain, perjuangan merebut simpati buruh pun lambat laun berubah menjadi persaingan tidak sehat. Untunglah, para elite buruh menyadari hal ini dan bertekad berbuat sesuatu sebelum terlambat..
Menurut Rekson, seperti dikutip Kompas, kehadiran para pimpinan serikat buruh nasional itu sangat penting untuk mereposisi gerakan buruh Indonesia. “Kami harus berbuat sekarang supaya tidak dipersalahkan oleh generasi penerus karena tidak melakukan apa-apa untuk memperkuat gerakan buruh Indonesia. Tak akan ada pihak yang mau mendengar suara gerakan buruh kalau serikat buruh terfragmentasi,” katanya.
Soliditas di Tingkat Lokal
Tentu saja, kita berharap agar persatuan di tingkat nasional tidak sebatas retorika dan wacana. Mereka memang harus segera menyadari, bahwa saat ini anggota serikat pekerja semakin jauh berkurang. Bahkan sebagian besar yang lain kehilangan minat untuk berserikat. Pun demikian, suaranya tidak lagi banyak didengar.
Saya membayangkan kondisi serikat pekerja di Serang, Banten. Disana, pertemuan yang dihadiri para pucuk pimpinan organisasi serikat pekerja yang ada di Serang bahkan dilakukan hampir tiap bulan, dan sudah berlangsung sejak empat tahun yang lalu. Mereka membentuk Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang, yang terdiri dari FSPMI, FSP-KEP, KSPSI, KSBSI, dan SPN. Bahkan, pada rapat terakhir yang diselenggarakan di Bhayangkara – Serang, juga nampak hadir Ketua Korwil Federasi Serikat Buruh Banten (FSBB) Kab. Serang.
Mereka biasa mengerjakan isu-isu strategis secara bersamaan. Terbukti lebih efektif, dan hasilnya juga lebih baik.
Memang perbedaan pandangan tidak bisa terhindarkan. Namun pesan yang ingin disampaikan, bahwa persatuan dan soliditas gerakan bisa diwujudkan. Sebab nyatanya, di tingkat lokal, sudah ada yang berhasil menjalankan.
Beberapa kali, saya juga pernah mendengar bahwa ada beberapa induk organisasi di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat) yang tidak merestui anggotanya membentuk aliansi dengan SP/SB lain di tingkat daerah. Saya tidak tahu pasti apa sebabnya, barangkali khawatir di daerah akan melepaskan diri (mendirikan SP/SB baru).
Namun dengan pertemuan Sukabumi, mudah-mudahan hal itu tidak lagi terjadi. Tidak ada yang kuat tanpa persatuan. Maka, memang sudah saatnya bagi kita untuk menghapus jauh-jauh kepentingan pribadi dan egoisme dalam mengelola organisasi.
Oleh: Kahar S. Cahyono
Founder suarasolidaritas.blogspot.com
29 November 2009
Berjuang Melalui Tulisan (Karena Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat)
Ada yang bertanya, sesungguhnya apa yang akan menjadi fokus perhatian saya kedepan? Sebagai penulis, aktivis serikat pekerja, peneliti, atau fokus pada karir sebagai karyawan kantoran? Setiap kali mendapat pertanyaan itu, yang pertamakali saya lakukan adalah tersenyum. Sulit untuk menjawab dengan segera, sebab sesungguhnya saya sangat menikmati semua aktivitas tersebut.
Apalagi saat ini saya masih tercatat sebagai Bendahara DPW FSPMI Provinsi Banten, Sekretaris Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang, Koordinator Umum Forum Solidaritas Buruh Serang, dan pernah menjadi Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Serang. Saya juga bekerja di bagian Manajemen Information System pada sebuah perusahaan swasta, namun juga menyempatkan diri untuk menulis. Beberapa tulisan saya dimuat di El-Ka Sabili, Fajar Banten, Radar Banten, Tangerang Tribun, dan beberapa majalah/buletin komunitas seperti Arsitek, Garis, dan Lembur.
Namun dari semua opsi di atas, yang terus menghentak-hentak diri saya adalah panggilan jiwa untuk menulis. Apapun pekerjaan saya. Setidaknya inilah yang pernah saya abadikan dalam sebuah diary, saat duduk di bangku kelas 3 SMK. Saat itu saya membuat catatan kecil tentang hal yang paling saya inginkan saat masih muda: (1) Mendapat pekerjaan yang menyenangkan; (2) Memiliki istri cantik jelita di usia muda (saya terinspirasi buku ”Kupinang Engkau dengan Hamdalah”, karya Mohammad Faudzil Adhim); (3) Menjadi penulis; (4) Memiliki rumah dengan perpustakaan kecil di dalamnya, dan (5) Mati masuk surga.
Ya, saya ingin menjadi penulis sukses. Karena itu, saya harus melakukan pembenahan terhadap mental saya. Sebab saya percaya bahwa hanya penulis hebat yang akan bisa menjadi penulis sukses. Penulis hebat tidak ditentukan oleh seberapa banyak karya kita yang sudah dipublikasikan, tapi oleh seberapa tangguh kita dalam berjuang untuk mewujudkan impian sebagai penulis sukses.
Alhamdulillah, sekarang ada buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT yang bisa memandu kita untuk menjadi penulis hebat sekaligus penulis sukses. Anda bisa mengetahuinya lebih rinci di http://www.penulishebat.com. Atau apabila anda tergabung dalam situs jejaring sosial, saya sarankan untuk berkunjung ke http://www.facebook.com/penulishebat . Ups, masih ada lagi, tepatnya di alamat ini http://www.twitter.com/penulishebat
PASANG SURUT SEMANGAT MENULIS
Di bulan Oktober – Nopember 2009 ini, saya beberapa kali menjuarai lomba kepenulisan. Sebut saja menjadi Juara Harapan ”Your Share Career Story” yang diselenggarakan konsultankarir.com, Pemenang Utama Penulisan Kesan dan Saran Pada Ulang Tahun ke-3 Harian Online Kabar Indonesia, Juara 2 Rose Heart Writing 2009, dan Terbaik 3 Lomba Resensi Buku Paris Lumiere de L`amour yang diselenggarakan Lingkar Pena Publishing.
Kendati demikian, saya masih merasa belum apa-apa. Sebabnya adalah, saya menyadari benar bahwa semangat menulis saya pasang surut. Perhatikan catatan berikut; Tahun 1999 – 2001 saya mulai menulis, karena terpaksa sebenarnya, sebagai konsekwensi keikutsertaan saya dalam Journalitic Technical Hight School yang diselenggarakan SMKN 1 Blitar. Meskipun, saat itu, tulisan saya hanya sebatas dimuat di majalah sekolah.
Pada periode itu, dengan mesin ketik yang saya pinjam dari kantor desa, saya menulis puluhan naskah untuk Jawa Post, Majalah Annida, dan Majalah Anneka Yess. Hasilnya? Tidak ada satu pun yang dimuat. Soal pinjam mesin ketik dari kantor desa tidak usah diulas panjang lebar, karena kebetulan orang tua saya sebagai Kepala Urusan (Kaur) Pemerintahan, sehingga saya memiliki akses untuk membawa pulang mesin ketik itu malam hari, dengan catatan pagi-pagi sebelum kantor desa dibuka mesin ketik itu sudah ada ditempatnya.
Setelah 5 tahun vakum dari dunia menulis, saya kembali menulis tahun 2006, dan pada medio inilah untuk pertamakalinya tulisan-tulisan saya secara berturut-turut menembuas media massa. Tulisan pertama saya di majalah El-Ka Sabili saya ketahui saat mengikuti Pekan Diskusi Perburuhan di Pandeglang-Banten, saat itu secara tidak sengaja saya melihat gadis berbaju SMA (yang kemudian saya ketahui putri pemilik hotel) membaca majalah Sabili di loby hotel tempat acara diselenggarakan. Setelah itu, hampir setiap minggu tulisan saya dimuat di berbagai media yang berbeda.
Tahun 2007 dan 2008 saya kembali tidak lagi mengirimkan satu pun tulisan ke media, dan kembali menulis pada tahun 2009 ini. Itulah sebabnya, ketika mengetahui ada buku CARA DAHSYAT MENJADI PENULIS HEBAT, saya sangat antusias. Saya berharap motivasi menulis saya tetap terjaga. Sebab buku ini bukan sekedar teori penulisan, namun lebih kepada pembenahan terhadap mental seorang penulis.
”Penulis hebat tidak ditentukan oleh seberapa banyak karya kita yang sudah dipublikasikan, tapi oleh seberapa tangguh kita dalam berjuang untuk mewujudkan impian sebagai penulis sukses,” Kata Jonru ketika mengenalkan buku ini.
Sebagai informasi, saat ini buku "Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat" yang tersedia adalah berformat ebook. Versi cetak belum tersedia. Jadi buku ini belum bisa didapatkan di toko buku terdekat. Untuk versi ebook, terdapat sejumlah PENAWARAN FANTASTIS yang tidak berlaku untuk versi cetak. Misalnya, harga ebooknya hanya Rp 49.500, tapi setiap pembeli mendapat voucher diskon Rp 200.000 dari SMO. Hm, menguntungkan sekali, bukan? Apalagi, ini adalah DISKON SMO TERBESAR yang pernah diberikan. Selama ini belum pernah ada, dan tidak tersedia di tempat lain.
Selain itu, pembeli ebook ini juga mendapat gratis modul eksklusif dari SMO, didaftarkan ke Kelas SMO Free Trial, mendapat bimbingan karir di bidang penulisan dan berlaku seumur hidup, dan sebagainya. Penawaran Fantastis ini hanya berlaku untuk Paket Ebook, TIDAK BERLAKU untuk buku versi cetak. Dan penawaran ini akan ditutup sewaktu-waktu bila buku versi cetak sudah terbit. Karena itu, tentu sayang sekali bila kita melewatkan kesempatan yang sangat langka ini!"
DENGAN PENA LAWAN PENINDASAN
Sebenarnya, medio 2001 – 2005 dan 2007 – 2008 saat saya tidak mengirimkan sama sekali naskah ke media, saya tidak pernah berhenti menulis. Saya bahkan lebih banyak menulis, hal ini karena aktivitas saya di Serikat Pekerja mengharuskan demikian. Membuat surat menyurat, Pers Release, Kerangka Acuan, mengelola Majalah Garis, menyusun gugatan, dan menulis Kertas Posisi dari hasil riset yang diselenggarakan FSBS saban tahun.
Pendek kata, menulis ternyata merupakan aktivitas yang sangat dekat dengan manusia. Pantaslah bila kemudian Pramoedya Ananta Toer berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam sejarah dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Tahun 2009 ini, saya kembali semangat menulis setelah membaca Kerangka Acuan Pelatihan Jurnalistik untuk Aktivis Serikat Buruh bertema “Dengan Pena Lawan Penindasan” yang diselenggarakan Trade Union Right Centre. Saat itu 28 April 2009.
Tulisan adalah sebuah cara untuk menyebarluaskan buah pikiran kepada orang banyak. Tulisan berfungsi untuk menjadi media informasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan. Tulisan juga dapat berfungsi untuk menjelaskan sebuah ide/pendapat yang bertujuan untuk mempengaruhi pendapat pembaca tentang sesuatu hal. Tulisan yang dikemas dengan baik dalam bahasa yang mudah dipahami, dapat menjadi sumber inspirasi bagi pembacanya. Jika tulisan tersebut dimuat dalam media yang tersedia, baik cetak mau pun elektronik, maka ide tulisan itu pun dapat dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru.
Serikat buruh, sebuah organisasi massa ujung tombak perjuangan hak-hak buruh, dapat memanfaatkan media tulisan sebagai salah satu alat perjuangan. Dengan memanfaatkan media tulisan yang ada, serikat buruh dapat mengefektifkan pengorganisasian anggotanya, melakukan pendidikan, bahkan memobilisasi anggota. Tulisan bisa menjadi alat perjuangan yang strategis untuk melawan penindasan terhadap buruh.
Kendati kemudian saya tidak bisa menghadiri pelatihan jurnalistik itu, namun saya sadar bahwa keseharian kaum buruh memang layak untuk diangkat dalam sebuah tulisan. Apalagi, saat ini tidak banyak penulis yang mengkhususkan diri untuk isu-isu perburuhan. Saya semakin terpesona ketika di dunia maya bertemu dengan seorang Rika Amrikasari yang berhasil menerbitkan sebuah cerita hukum berjudul Good Lawyer. Buku ini mendapat banyak pujian, karena berhasil ‘mensastrakan hukum’. Kalimat hukum yang sulit dipahami itu, ia transformasikan dalam kalimat-kalimat cerpen yang sangat indah dan menawan.
Keseharian kaum buruh di bawah cerobong pabrik, di lorong-lorong kumuh kontrakan buruh, dan perjuangan yang tak pernah usai, saya kira lebih menarik untuk diangkat dalam sebuah karya sastra. Saat ini, dibantu beberapa orang Redaksi Majalah Garis, saya mencoba menyusun sebuah memoar tentang kisah-kisah perburuhan. Dan, tentu saja, kami berharap tidak patah semangat untuk mewujudkan impian itu. Salah satunya adalah dengan banyak membaca buku motivasi menulis, salah satunya adalah "Cara Dahsyat Menjadi Penulis Hebat" yang saya rekomendasikan untuk anda. (*)
Ditulis Oleh: Kahar S. Cahyono
Founder Suara Solidaritas
Tulisan ini diikutkan dalam lomba "Saya Ingin Menjadi Penulis Hebat" yang diselenggarakan Sekolah Menulis Online.
26 November 2009
Tidak Benar UMK Penyebab Bangkrutnya Perusahaan
Oleh: Kahar S. Cahyono
Akhirnya Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2010 di 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten lengkap sudah. Besaran UMK tersebut adalah: Kota Cilegon Rp1.174.000, Kota Serang Rp1.050.000, Kabupaten Serang Rp 1.101.000, Kabupaten Pandeglang Rp 964.500, Lebak Rp 959.500, Kota Tangerang Rp 1.118.295 dan Kabupaten Tangerang Rp 1.117.245. Sedangkan Kota Tangerang Selatan, pada tahun 2010 ini UMKnya masih mengacu dengan UMK di kabupaten induk.
Pertanyaannya kemudian, apakah UMK tesebut sudah mencerminkan rasa keadilan? Dengan kata lain, apakah sudah mampu memenuhi kebutuhan hidup?
Pro kontra masih terjadi. Baru-baru ini, bahkan, seorang aktivis Serikat Pekerja di Kabupaten Serang menyatakan bahwa Aliansi SP/SB Serang akan mengadakan aksi menolak UMK di Kantor Bupati Serang. Ini tentu merupakan buntut dari kekecewaan atas besaran UMK yang dirasa masih belum layak.
Di lain pihak, besarnya UMK sering digunakan alasan sebagai penghambat investasi. Simak saja pendapat Eutik, seorang pejabat Dinas Tenaga Kerja di Provinsi Banten, bahwa akibat krisis global yang terjadi belum lama ini banyak juga perusahaan yang mengalami pailit sehingga ada juga perusahaan yang tidak bisa melaksanakan UMK.
Padahal, bagi perusahaan yang tidak bisa melaksanakan UMK itu, bisa menangguhkan pelaksanaan UMK. Tentu dengan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Dengan kata lain, regulasi sudah menyiapkan payung hukum bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah sesuai UMK. Alasan ini seharusnya yang benar. Bukan malah mengatakan bahwa bila upah tinggi maka akan banyak perusahaan bangkrut!
25 November 2009
Kepemilikan Rumah Bagi Pekerja
Rumah adalah tempat dimana kita menitipkan hati. Disana kita merasa nyaman, tenang, teduh, dan selalu ingin kembali setiap saat kita pergi meninggalkannya. Pendek kata, rumah adalah tempat istimewa yang tak ada duanya di dunia.
Bagaimana tidak? Di rumahlah sebuah generasi baru lahir. Di dalam rumah pula pendidikan pertama dimulai, komunikasi dan hubungan antar anggota keluarga dilakukan, juga nilai-nilai budi pekerti ditanamkan. Seorang istri menjadi permaisuri di rumahnya, dan seorang ayah menjadi raja serta panutan di rumahnya. Rasanya semua itu tidak akan didapati bila terus berada di kos-kos an, kontrakan, dan lain segalanya.
Pencanangan Provinsi Banten sebagai Gerbang Investasi Indonesia, tentunya juga semakin memicu meningkatnya kebutuhan terhadap rumah. Terutama bagi tenaga kerja yang berasal dari luar daerah. Oleh karenanya, kepedulian pemerintah untuk menyediakan rumah layak bagi warga negaranya harus dioptimalkan.
Apalagi, konstitusi negara kita mengamanatkan hal itu. Dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 disebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Selain Pasal 28 H UUD 1945, terdapat juga Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan Undang-undang Bangunan Gedung Tahun 2003 yang mewajibkan pemerintah daerah memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah. Semua arahan konstitusi itu memberi aksesibilitas rumah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Permasalahan perumahan tidak saja dimaknai bagi masyarakat yang belum memiliki rumah. Namun juga bagi mereka yang sudah tercatat memiliki rumah, namun kondisinya tidak layak. Misalnya terkait dengan rumah yang dihuni melebihi kapasitas, tingkat kepadatan yang amat tinggi di daerah tertentu, hilangnya ruang publik, dan sebagainya.
Kontrakan Masih Menjadi Primadona
Menyimak konstitusi sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, seharusnya akses untuk memiliki rumah semakin dipermudah. Apalagi Kementerian Perumahan Rakyat juga memberikan subsidi bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang ingin memiliki rumah.
Sebagai bahan study, kita bisa melihat kondisi para pekerja/buruh yang tersebar di berbagai industri di Wilayah Banten. Kendati Dinas Tenaga Kerja juga memberikan subsidi, bahkan ada fasilitas/kemudahan yang diberikan PT. Jamsostek untuk memberikan pinjaman uang muka perumahan, namun realitasnya masih banyak yang tidak bisa memanfaatkan kemudahan ini.
Lihat saja di sekitar kawasan industri, masih banyak pekerja yang tinggal di rumah petak, kost-kost an, atau kontrakan. Beberapa diantaranya dengan lingkungan yang tidak sehat. Kumuh. Karena memang terlalu padat dan kurang terawat.
Memang, sebagaian dari mereka beranggapan, cara ini lebih gampang. Kebanyakan kontrakan atau tempat kost dalam kondisi siapa pakai, sehingga tidak perlu bertele-tele mengurus administrasi dan membayar tagihan rekening listrik. Terutama bagi yang masing lajang, kontrakan menjadi tempat tinggal yang favorit. Harga sewa rumah yang bervariasi, membuat mereka lebih leluasa untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangannya. Misalnya dengan menggunakan pola three in one, dimana satu rumah dipakai bertiga, sehingga per orang bisa membayar jauh lebih murah.
Namun ada juga yang memilih kontrakan, karena pertimbangan praktis. Dekat dengan tempat kerja. Apalagi kebanyakan perumahan berlokasi jauh dari tempat kerja. Bila tidak berhitung dengan cermat, bisa jadi ongkos transportasi yang dibutuhkan akan membengkak.
Namun begitu, hal mendasar yang membuat buruh bimbang untuk membeli rumah adalah tidak adanya kepastian kerja. Status kerja sebagai buruh kontrak/outsourcing, membuat mereka khawatir tidak bisa melanjutkan angsuran jika tiba-tiba kontrak kerjanya selesai. Kondisi ini ditambahkan dengan faktor rendahnya upah.
Permasalahan kememilikan rumah bagi masyarakat memang kompleks. Namun apapun itu, kebutuhan akan rumah adalah sebuah keniscayaan. Memiliki rumah adalah kenyataan apabila persoalan pendapatan, kepastian pekerjaan, dan adanya kepedulian yang nyata dari pemerintah. Namun akan menjadi sebuah impian manakala kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhanam tingginya bunga kredit,maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif, hingga rendahnya daya beli masyarakat (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tangerang Tribun
Bagaimana tidak? Di rumahlah sebuah generasi baru lahir. Di dalam rumah pula pendidikan pertama dimulai, komunikasi dan hubungan antar anggota keluarga dilakukan, juga nilai-nilai budi pekerti ditanamkan. Seorang istri menjadi permaisuri di rumahnya, dan seorang ayah menjadi raja serta panutan di rumahnya. Rasanya semua itu tidak akan didapati bila terus berada di kos-kos an, kontrakan, dan lain segalanya.
Pencanangan Provinsi Banten sebagai Gerbang Investasi Indonesia, tentunya juga semakin memicu meningkatnya kebutuhan terhadap rumah. Terutama bagi tenaga kerja yang berasal dari luar daerah. Oleh karenanya, kepedulian pemerintah untuk menyediakan rumah layak bagi warga negaranya harus dioptimalkan.
Apalagi, konstitusi negara kita mengamanatkan hal itu. Dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 disebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Selain Pasal 28 H UUD 1945, terdapat juga Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan Undang-undang Bangunan Gedung Tahun 2003 yang mewajibkan pemerintah daerah memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah. Semua arahan konstitusi itu memberi aksesibilitas rumah bagi seluruh rakyat Indonesia.
Permasalahan perumahan tidak saja dimaknai bagi masyarakat yang belum memiliki rumah. Namun juga bagi mereka yang sudah tercatat memiliki rumah, namun kondisinya tidak layak. Misalnya terkait dengan rumah yang dihuni melebihi kapasitas, tingkat kepadatan yang amat tinggi di daerah tertentu, hilangnya ruang publik, dan sebagainya.
Kontrakan Masih Menjadi Primadona
Menyimak konstitusi sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, seharusnya akses untuk memiliki rumah semakin dipermudah. Apalagi Kementerian Perumahan Rakyat juga memberikan subsidi bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang ingin memiliki rumah.
Sebagai bahan study, kita bisa melihat kondisi para pekerja/buruh yang tersebar di berbagai industri di Wilayah Banten. Kendati Dinas Tenaga Kerja juga memberikan subsidi, bahkan ada fasilitas/kemudahan yang diberikan PT. Jamsostek untuk memberikan pinjaman uang muka perumahan, namun realitasnya masih banyak yang tidak bisa memanfaatkan kemudahan ini.
Lihat saja di sekitar kawasan industri, masih banyak pekerja yang tinggal di rumah petak, kost-kost an, atau kontrakan. Beberapa diantaranya dengan lingkungan yang tidak sehat. Kumuh. Karena memang terlalu padat dan kurang terawat.
Memang, sebagaian dari mereka beranggapan, cara ini lebih gampang. Kebanyakan kontrakan atau tempat kost dalam kondisi siapa pakai, sehingga tidak perlu bertele-tele mengurus administrasi dan membayar tagihan rekening listrik. Terutama bagi yang masing lajang, kontrakan menjadi tempat tinggal yang favorit. Harga sewa rumah yang bervariasi, membuat mereka lebih leluasa untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangannya. Misalnya dengan menggunakan pola three in one, dimana satu rumah dipakai bertiga, sehingga per orang bisa membayar jauh lebih murah.
Namun ada juga yang memilih kontrakan, karena pertimbangan praktis. Dekat dengan tempat kerja. Apalagi kebanyakan perumahan berlokasi jauh dari tempat kerja. Bila tidak berhitung dengan cermat, bisa jadi ongkos transportasi yang dibutuhkan akan membengkak.
Namun begitu, hal mendasar yang membuat buruh bimbang untuk membeli rumah adalah tidak adanya kepastian kerja. Status kerja sebagai buruh kontrak/outsourcing, membuat mereka khawatir tidak bisa melanjutkan angsuran jika tiba-tiba kontrak kerjanya selesai. Kondisi ini ditambahkan dengan faktor rendahnya upah.
Permasalahan kememilikan rumah bagi masyarakat memang kompleks. Namun apapun itu, kebutuhan akan rumah adalah sebuah keniscayaan. Memiliki rumah adalah kenyataan apabila persoalan pendapatan, kepastian pekerjaan, dan adanya kepedulian yang nyata dari pemerintah. Namun akan menjadi sebuah impian manakala kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhanam tingginya bunga kredit,maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif, hingga rendahnya daya beli masyarakat (*)
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tangerang Tribun
23 November 2009
Ancaman Teror Saat Mudik Lebaran
Oleh: Kahar S. Cahyono
Peringatan Menkominfo, Mohammad Nuh, untuk mewaspadai aksi teroris saat mudik lebaran 2009, memang harus direspon dengan sepenuh hati. Jangan sampai kekhawatiran itu terbukti dan menodai kesucian idul fitri. Apalagi bila menyebabkan jatuhnya banyak korban, tentu kerinduan untuk bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman bertepuk sebelah tangan.
Sepanjang ingatan saya, saat mudik hari raya, teror terhadap para pemudik memang terus terjadi. Jangan salah menduga, teror yang saya maksudkan bukan berasal dari kelompok Nordin M. Top. Teror yang saya maksudkan berupa: (1) Kemacetan; (2) Sulitnya mendapatkan tiket; dan (3) Tingginya angka kecelakaan; (4) Kejahatan di jalan raya.
Setelah saya analisa kembali, saya berkeyakinan bahwa keempat hal itulah yang sesungguhnya telah meneror publik. Fakta dibawah ini akan semakin membuat kita mengerti, bahwa hal di atas merupakan ancaman teror yang nyata. Merenggut nyawa ratusan orang setiap tahunnya, dengan kerugian materi yang tak terhingga. Sesuatu yang layak mendapat perhatian serius, ketimbang mengumbar isu bahwa teroris akan menyerang dengan sebuah bom
Hal pertama yang akan menghadang pemudik adalah macet. Penyebab bermacam-macam. Mulai dari pasar tumpah, padatnya arus kendaraan, hingga infrastruktur jalan yang belum selesai diperbaiki. Apalagi, sebagaimana kita ketahui, rentang jarak menuju Sumatera, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur merupakan jarak tempuh yang melelahkan. Disaat lancar pun membutuhkan waktu belasan jam di jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Kemacetan, menyerang psikis dan hilangnya kesabaran seseorang, yang berpotensi menimbulkan kecelakaan yang lebih besar.
Diluar kemacetan yang terjadi, nampaknya teror lain yang dihadapi pemudik adalah kehabisan tiket. Jangankan untuk mudik, untuk balik ke Jakarta pun, tiket kereta api sulit untuk didapatkan. Sebuah keresahan tersendiri, yang juga nyaris berulang sepanjang tahun.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, yang sebenarnya terjadi bukan karena tiketnya yang habis. Tetapi sudah beralih ke tangan para calo, yang kemudian menjualnya kembali dengan harga dua kali lipat lebih tinggi. Mudik, yang sudah lekat dengan ”budaya” bangsa ini, mendadak menjadi ritual tahunan yang paling mahal dan menyebalkan.
Teman saya mengaku membatalkan mudik ke Madiun karena mendapat informasi keluarganya gagal mendapatkan tiket untuk balik lagi ke Jakarta. Ia merasa terpukul, karena inilah satu-satunya kesempatan libur panjang yang diberikan perusahaan. Sebenarnya ia bisa saja mencari jalan alternatif dengan membeli tiket secara langsung pada hari keberangkatan, namun cara ini juga bukannya tanpa resiko. Selain membayangkan antrian panjang, berdesakan, dan belum tentu bisa berangkat pada saat itu juga. Apalagi ia mengajak istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Larangan bagi pemudik menggunakan sepeda motor yang melampaui kapasitas, merupakan langkah maju dan berani untuk meminimalkan kecelakaan di jalan raya. Kendati untuk kebanyakan orang larangan tersebut cukup mengecewakan. Apalagi selama ini sepeda motor terbukti menjadi alat yang ampuh bagi mereka yang kesulitan mendapat tiket.
Pada akhirnya, sulit untuk tidak mengatakan, bahwa di jalan pun ternyata belum tentu keamanan akan terjamin. Bahkan penuhnya semua angkutan umum dan kelengahan dalam pergerakan massa yang luar biasa banyaknya, seringkali dimanfaatkan orang-orang yang bermaksud jahat untuk menjalankan aksinya. Belum hilang ingatan saya akan cerita saudara, yang tahun lalu tas serta dompetnya berpindah ke tangan pencopet. Seruan untuk waspada pada terorisme, memang tidak boleh kita abaikan. Namun jangan sampai hal ini justru membuat kita lengah pada teror yang sesungguhnya !
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tangerang Tribun
Peringatan Menkominfo, Mohammad Nuh, untuk mewaspadai aksi teroris saat mudik lebaran 2009, memang harus direspon dengan sepenuh hati. Jangan sampai kekhawatiran itu terbukti dan menodai kesucian idul fitri. Apalagi bila menyebabkan jatuhnya banyak korban, tentu kerinduan untuk bertemu dengan sanak keluarga di kampung halaman bertepuk sebelah tangan.
Sepanjang ingatan saya, saat mudik hari raya, teror terhadap para pemudik memang terus terjadi. Jangan salah menduga, teror yang saya maksudkan bukan berasal dari kelompok Nordin M. Top. Teror yang saya maksudkan berupa: (1) Kemacetan; (2) Sulitnya mendapatkan tiket; dan (3) Tingginya angka kecelakaan; (4) Kejahatan di jalan raya.
Setelah saya analisa kembali, saya berkeyakinan bahwa keempat hal itulah yang sesungguhnya telah meneror publik. Fakta dibawah ini akan semakin membuat kita mengerti, bahwa hal di atas merupakan ancaman teror yang nyata. Merenggut nyawa ratusan orang setiap tahunnya, dengan kerugian materi yang tak terhingga. Sesuatu yang layak mendapat perhatian serius, ketimbang mengumbar isu bahwa teroris akan menyerang dengan sebuah bom
Hal pertama yang akan menghadang pemudik adalah macet. Penyebab bermacam-macam. Mulai dari pasar tumpah, padatnya arus kendaraan, hingga infrastruktur jalan yang belum selesai diperbaiki. Apalagi, sebagaimana kita ketahui, rentang jarak menuju Sumatera, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur merupakan jarak tempuh yang melelahkan. Disaat lancar pun membutuhkan waktu belasan jam di jalan untuk sampai ke tempat tujuan. Kemacetan, menyerang psikis dan hilangnya kesabaran seseorang, yang berpotensi menimbulkan kecelakaan yang lebih besar.
Diluar kemacetan yang terjadi, nampaknya teror lain yang dihadapi pemudik adalah kehabisan tiket. Jangankan untuk mudik, untuk balik ke Jakarta pun, tiket kereta api sulit untuk didapatkan. Sebuah keresahan tersendiri, yang juga nyaris berulang sepanjang tahun.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, yang sebenarnya terjadi bukan karena tiketnya yang habis. Tetapi sudah beralih ke tangan para calo, yang kemudian menjualnya kembali dengan harga dua kali lipat lebih tinggi. Mudik, yang sudah lekat dengan ”budaya” bangsa ini, mendadak menjadi ritual tahunan yang paling mahal dan menyebalkan.
Teman saya mengaku membatalkan mudik ke Madiun karena mendapat informasi keluarganya gagal mendapatkan tiket untuk balik lagi ke Jakarta. Ia merasa terpukul, karena inilah satu-satunya kesempatan libur panjang yang diberikan perusahaan. Sebenarnya ia bisa saja mencari jalan alternatif dengan membeli tiket secara langsung pada hari keberangkatan, namun cara ini juga bukannya tanpa resiko. Selain membayangkan antrian panjang, berdesakan, dan belum tentu bisa berangkat pada saat itu juga. Apalagi ia mengajak istri dan dua anaknya yang masih kecil.
Tentang kecelakaan, pada tahun 2007 mencapai 1.875 kasus, dengan korban tewas mencapai 798 orang. Sementara pada tahun 2008 jumlah kecelakaan mencapai 1.368 yang mengakibatkan 633 korban tewas. Ya, ratusan orang meninggal setiap tahun, sebuah deretan nominal yang menakutkan. Faktor kelalaian pengemudi, kelayakan kendaraan serta jalan, dan sedikitnya lampu penerangan seringkali ditunjuk sebagai kambing hitam. Sesuatu yang sebenarnya bisa dicegah agar tidak terulang kembali.
Larangan bagi pemudik menggunakan sepeda motor yang melampaui kapasitas, merupakan langkah maju dan berani untuk meminimalkan kecelakaan di jalan raya. Kendati untuk kebanyakan orang larangan tersebut cukup mengecewakan. Apalagi selama ini sepeda motor terbukti menjadi alat yang ampuh bagi mereka yang kesulitan mendapat tiket.
Pada akhirnya, sulit untuk tidak mengatakan, bahwa di jalan pun ternyata belum tentu keamanan akan terjamin. Bahkan penuhnya semua angkutan umum dan kelengahan dalam pergerakan massa yang luar biasa banyaknya, seringkali dimanfaatkan orang-orang yang bermaksud jahat untuk menjalankan aksinya. Belum hilang ingatan saya akan cerita saudara, yang tahun lalu tas serta dompetnya berpindah ke tangan pencopet. Seruan untuk waspada pada terorisme, memang tidak boleh kita abaikan. Namun jangan sampai hal ini justru membuat kita lengah pada teror yang sesungguhnya !
Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tangerang Tribun
Unjuk Rasa Bagian Dari Demokrasi
Oleh: Kahar S Cahyono
Opini Tangerang Tribun 8 Oktober 2009 yang berjudul “Jangan Jadikan Agama Sebagai Kedok Politik” menarik untuk ditanggapi. Dimana dalam tulisan tersebut, menyebutkan bahwa unjuk rasa sejumlah orang yang mengatasnamakan ormas Islam untuk menolak penetapan Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang dengan menggunakan alasan agama merupakan pengingkaran terhadap kemajemukan kita sebagai bangsa dan menunjukkan ketidakdewasaan dalam berbangsa.
Di sana menyebutkan bahwa aksi pada hari Senin 5 Oktober 2009 terjadi atas suruhan oleh oknum yang tidak senang dengan ditetapkannya Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang. Saya berprasangka baik, penulisnya mempunyai data yang cukup ketika menyampaikan statement itu. Namun begitu, satu hal yang dilupakaan adalah, unjuk rasa merupakan sesuatu yang sah dalam iklim demokrasi. Unjuk rasa juga berfungsi sebagai media dalam menyampaikan argumentasi dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap sebuah keputusan.
Apakah ketika sebuah elemen masyarakat berunjuk rasa menolak sebuah Perda atau Undang-undang bisa diartikan sebagai sebuah sikap ketidakdewasaan dalam berbangsa? Padahal Perda dan Undang-undang tersebut dibuat melalui proses panjang dan mendapat persetujuan dari anggota DPR, wakil rakyat? Apakah buruh yang merunjuk rasa menolak keputusan UMK juga bisa dikatakan sebagai tidak menghargai demokrasi? Padahal proses penetapan UMK melalui pembahasan oleh Dewan Pengupahan, dimana perwakilan buruh juga duduk didalamnya?
Pemilihan ketua DPRD merupakan keputusan dari anggota. Dalam hal ini anggota DPRD Kota Tangerang. Maka dengan analogi di atas, mereka yang tidak terdaftar sebagai anggota DPRD, tetapi menyadari keputusan itu mempunyai dampak bagi kepentingannya, sangat wajar bila melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya. Justru kalau hal ini dihalang-halangi, saluran demokrasi tersumbat. Dan perlu dicatat, ini murni menyampaikan aspirasi. Dilakukan dengan santun, tidak untuk mengkudeta, apalagi berbuat kerusuhan dan anarkis.
Agaknya yang menjadi perhatian benar adalah soal politisi yang menggunakan sentimen agama untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam hal ini, saya sepakat, bahwa agama jangan hanya dijadikan sekedar kedok. Tetapi justru agama harus menjadi landasan dalam berpolitik. Hitam putihnya politik dilihat dari kaca mata agama, karena di dalam agamalah segala kebaikan diajarkan.
Perhatikan sosok SBY dengan Partai Demokratnya yang mencitrakan diri sebagai Nasionalis Religius, mendapat simpati dan dukungan besar dari rakyat. Ya, Nasionalis Religius. Nasionalis yang berketuhanan (religius), yang membawa-bawa agama (Tuhan merupakan representasi dari agama) dalam berpolitik. Mengapa tidak ada protes? Sementara partai lain yang secara tegas berlandaskan agama (Islam), mengapa selalu dibombardir dengan kritik tajam?
Adalah tidak tepat mencontohkan Founding Father ketika merumuskan dasar negara sebagai tolak ukur kedewasaan bernegara. Dimana mereka mayoritas muslim, tetapi ketika ada keberatan dari kalangan non muslim yang menolak dimasukkannya tujuh kata dalam pembukaan Undang Undang Dasar mereka rela menghapus tujuh kata “Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya “. Perlu ada diskusi lebih panjang soal ini. Apakah pencoretan tujuh kata itu merupakan sebuah “kerelaan”, atau justru dilakukan dengan cara “menelikung” dan tidak sesuai dengan etika musyawarah/ mufakat?
Pendek kata, saya ingin mengatakan, bahwa jangan mengaitkan aspirasi masyarakat yang menyandarkan sikap politiknya berdasarkan ajaran agama membahayakan NKRI. Umat Islam mencintai persatuan, dan diajarkan untuk tidak memutuskan tali silaturahmi.(*)
Catatan: Pernah dimuat di Tangerang Tribun, Edisi 13 Oktober 2009
Opini Tangerang Tribun 8 Oktober 2009 yang berjudul “Jangan Jadikan Agama Sebagai Kedok Politik” menarik untuk ditanggapi. Dimana dalam tulisan tersebut, menyebutkan bahwa unjuk rasa sejumlah orang yang mengatasnamakan ormas Islam untuk menolak penetapan Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang dengan menggunakan alasan agama merupakan pengingkaran terhadap kemajemukan kita sebagai bangsa dan menunjukkan ketidakdewasaan dalam berbangsa.
Di sana menyebutkan bahwa aksi pada hari Senin 5 Oktober 2009 terjadi atas suruhan oleh oknum yang tidak senang dengan ditetapkannya Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang. Saya berprasangka baik, penulisnya mempunyai data yang cukup ketika menyampaikan statement itu. Namun begitu, satu hal yang dilupakaan adalah, unjuk rasa merupakan sesuatu yang sah dalam iklim demokrasi. Unjuk rasa juga berfungsi sebagai media dalam menyampaikan argumentasi dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap sebuah keputusan.
Apakah ketika sebuah elemen masyarakat berunjuk rasa menolak sebuah Perda atau Undang-undang bisa diartikan sebagai sebuah sikap ketidakdewasaan dalam berbangsa? Padahal Perda dan Undang-undang tersebut dibuat melalui proses panjang dan mendapat persetujuan dari anggota DPR, wakil rakyat? Apakah buruh yang merunjuk rasa menolak keputusan UMK juga bisa dikatakan sebagai tidak menghargai demokrasi? Padahal proses penetapan UMK melalui pembahasan oleh Dewan Pengupahan, dimana perwakilan buruh juga duduk didalamnya?
Pemilihan ketua DPRD merupakan keputusan dari anggota. Dalam hal ini anggota DPRD Kota Tangerang. Maka dengan analogi di atas, mereka yang tidak terdaftar sebagai anggota DPRD, tetapi menyadari keputusan itu mempunyai dampak bagi kepentingannya, sangat wajar bila melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya. Justru kalau hal ini dihalang-halangi, saluran demokrasi tersumbat. Dan perlu dicatat, ini murni menyampaikan aspirasi. Dilakukan dengan santun, tidak untuk mengkudeta, apalagi berbuat kerusuhan dan anarkis.
Agaknya yang menjadi perhatian benar adalah soal politisi yang menggunakan sentimen agama untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam hal ini, saya sepakat, bahwa agama jangan hanya dijadikan sekedar kedok. Tetapi justru agama harus menjadi landasan dalam berpolitik. Hitam putihnya politik dilihat dari kaca mata agama, karena di dalam agamalah segala kebaikan diajarkan.
Perhatikan sosok SBY dengan Partai Demokratnya yang mencitrakan diri sebagai Nasionalis Religius, mendapat simpati dan dukungan besar dari rakyat. Ya, Nasionalis Religius. Nasionalis yang berketuhanan (religius), yang membawa-bawa agama (Tuhan merupakan representasi dari agama) dalam berpolitik. Mengapa tidak ada protes? Sementara partai lain yang secara tegas berlandaskan agama (Islam), mengapa selalu dibombardir dengan kritik tajam?
Adalah tidak tepat mencontohkan Founding Father ketika merumuskan dasar negara sebagai tolak ukur kedewasaan bernegara. Dimana mereka mayoritas muslim, tetapi ketika ada keberatan dari kalangan non muslim yang menolak dimasukkannya tujuh kata dalam pembukaan Undang Undang Dasar mereka rela menghapus tujuh kata “Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya “. Perlu ada diskusi lebih panjang soal ini. Apakah pencoretan tujuh kata itu merupakan sebuah “kerelaan”, atau justru dilakukan dengan cara “menelikung” dan tidak sesuai dengan etika musyawarah/ mufakat?
Pendek kata, saya ingin mengatakan, bahwa jangan mengaitkan aspirasi masyarakat yang menyandarkan sikap politiknya berdasarkan ajaran agama membahayakan NKRI. Umat Islam mencintai persatuan, dan diajarkan untuk tidak memutuskan tali silaturahmi.(*)
Catatan: Pernah dimuat di Tangerang Tribun, Edisi 13 Oktober 2009
Langganan:
Postingan (Atom)