04 Desember 2009

Di Balik Layar

Hampir semua tenaga kerja di Kabupaten Serang tahu, bahwa UMK Serang tahun 2010 sebesar Rp. 1.101.000.00. Namun seperti apa proses didalamnya sehingga bisa keluar angka sebesar itu, tidak banyak yang tahu. Kalau saja kartu XL ini bisa berbicara, tentu ia akan menceritakan proses penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Serang tahun 2010. Namun sayang, suaranya tidak terdengar. Kata-katanya tidak mampu kita pahami, meskipun ia merupakan saksi kunci penetapan UMK yang selalu ditunggu jutaan tenaga kerja dan keluarganya.

”Perjuangan kita tahun ini sangat berat. Apalagi hasil survey Kebutuhan Hidup Layak yang menjadi dasar penetapan UMK sangat rendah,” ujar Isbandi Anggono, Anggota Dewan Pengupahan Kabupaten Serang dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

Sekedar diketahui, bahwa upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan dan atau Bupati/Walikota. Dewan pengupahan sendiri merupakan lembaga non struktural yang bersifat tripartit, dimana keanggotannya meliputi perwakilan Pemerintah, unsur organisasi Pengusaha, dan unsur Serikat Pekerja, ditambah dengan seorang akademisi dari perguruan tinggi.

Itulah sebabnya, sebagai Koordinator Umum Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS), sebuah element ketenagakerjaan di Kabupaten Serang yang salah satu fungsingnya sebagai lembaga riset dan analisis kebijakan ketenagakerjaan di tingkat lokal, tentu saya memiliki kepentingan untuk terus berkomunikasi dengan teman-teman unsur serikat pekerja yang duduk di dalam Dewan Pengupahan. Apalagi, kami memiliki kode etik bahwa anggota Dewan Pengupahan adalah wakil serikat pekerja, maka ia tidak boleh membuat keputusan diluar yang telah digariskan oleh organisasi serikat pekerja.

Dengan demikian tidak ada pilihan lain, komunikasi dan konsolidasi harus dilakukan dengan lebih intensif, khususnya pada saat Dewan Pengupahan mengadakan rapat pleno untuk menentukan besarnya upah minimum. Hampir setiap menit perkembangan rapat bisa terjadi, maka komunikasi menjadi sedemikian penting. Dan media yang kami pilih untuk melakukan komunikasi jatuh kepada XL.

FSBS memiliki sebuah Divisi Dokumentasi, Publikasi, dan Komunikasi. Divisi inilah yang menyediakan seluruh alat komunikasi yang dibutuhkan oleh seluruh Staff dan mitra kerja FSBS. Dimana setiap orang mendapatkan fasilitas handphone lengkap dengan kartu pra bayar XL. Pengadaan fasilitas ini sangat mendukung kinerja kami, karena kami bisa melakukan komunikasi secara cepat dengan harga yang murah. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau setiap orang menggunakan operator yang berbeda-beda. Bisa jadi komunikasi akan terganggu, karena belum apa-apa sudah khawatir akan terjadi pembengkakan biaya.

”Usulan kita ditolak,” Argo Priyo Sujatmiko, anggota Dewan Pengupahan yang juga Koordinator Politik Hukum dan HAM di FSBS menginformasikan melalui handphone. Saat itu saya sedang makan siang di sekitar kawasan Modern Cikande Industrial Estate.

”Kalau bisa jangan buru-buru diputuskan hari ini. Saya dengar, di Kabupaten Tangerang juga belum ada kesepakatan,” sahut Abu Gybran, Anggota Badan Pertimbangan FSBS yang berada di Tangerang.

Kami memang sering berkomunikasi dengan sistem konferensi, berkomunikasi dengan dua orang lebih dalam satu pembicaraan. Apalagi, dalam penetapan UMK, besarnya upah minimum di daerah sekitar juga menjadi salah satu bahan pertimbangan. Koordinasi dengan beberapa kawan di Tangerang, Cilegon, bahkan kantor induk organisasi di Jakarta bisa dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Dibalik proses penetapan UMK, peran media telekomunikasi menjadi sangat penting. Makanya saya suka tersenyum ketika mendengar UMK dijadikan bahan pembicaraan orang, sebab dengan sendirinya kenangan bersama XL muncul secara tiba-tiba.

Apalagi ketika Junaedi, Sekretaris DPC Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Serang mengatakan, bahwa ”Menggunakan XL bukan sekedar murah. Namun ia memiliki nilai filosofi yang tinggi. XL kan juga bisa juga diartikan besar, maka dengan menggunakan XL, kita berharap upah yang kita perjuangkan akan menjadi besar.”

Ditulis oleh: Kahar S. Cahyono
Tulisan ini diikutsertakan dalam XL Awward Competition 2009

01 Desember 2009

Belajarlah Dari Daerah

Tulisan ini untuk menanggapi Trade Unions Meeting for Political Consensus/Tumpoc (Pertemuan Serikat Buruh untuk Konsensus Politik) di harian Kompas, 1 Desember 2009. Sebuah pertemuan “spektakuler” yang dihadiri penjabat sementara Ketua Umum KSPSI Mathias Tambing, Presiden KSPI Thamrin Moosi, Presiden KSBSI Rekson Silaban, dan elite buruh dari 35 federasi serikat buruh untuk membahas berbagai dinamika serikat pekerja. Pertemuan berlangsung di Sukabumi, Jawa Barat, tanggal 23 - 24 November 2009

Sejak Presiden BJ Habibie meratifikasi Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat pascareformasi, diikuti lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh oleh Presiden Abdurrahman Wahid, serikat buruh di Indonesia tumbuh seperti jamur di musim hujan. Hal itu wajar karena undang-undang itu mengizinkan sedikitnya 10 orang membentuk serikat buruh. Sampai bulan Juni 2007, ada tiga konfederasi serikat buruh, 86 federasi serikat buruh, dan 11.000 serikat buruh/serikat pekerja tingkat perusahaan.

KSPSI mewadahi 13 federasi dan mengklaim memiliki sedikitnya 4 juta anggota, KSPI dengan 10 federasi dengan sekitar 2 juta anggota, dan KSBSI memiliki sedikitnya 2 juta anggota. Namun, pemerintah memperkirakan pekerja yang menjadi anggota serikat pekerja baru 4 juta orang, dari sekitar 30 juta pekerja formal. Kondisi paradoks yang terjadi semakin merugikan buruh. Serikat buruh baru terus lahir, padahal minat pekerja berserikat semakin merosot. Pada sisi lain, perjuangan merebut simpati buruh pun lambat laun berubah menjadi persaingan tidak sehat. Untunglah, para elite buruh menyadari hal ini dan bertekad berbuat sesuatu sebelum terlambat..

Menurut Rekson, seperti dikutip Kompas, kehadiran para pimpinan serikat buruh nasional itu sangat penting untuk mereposisi gerakan buruh Indonesia. “Kami harus berbuat sekarang supaya tidak dipersalahkan oleh generasi penerus karena tidak melakukan apa-apa untuk memperkuat gerakan buruh Indonesia. Tak akan ada pihak yang mau mendengar suara gerakan buruh kalau serikat buruh terfragmentasi,” katanya.

Soliditas di Tingkat Lokal

Tentu saja, kita berharap agar persatuan di tingkat nasional tidak sebatas retorika dan wacana. Mereka memang harus segera menyadari, bahwa saat ini anggota serikat pekerja semakin jauh berkurang. Bahkan sebagian besar yang lain kehilangan minat untuk berserikat. Pun demikian, suaranya tidak lagi banyak didengar.

Saya membayangkan kondisi serikat pekerja di Serang, Banten. Disana, pertemuan yang dihadiri para pucuk pimpinan organisasi serikat pekerja yang ada di Serang bahkan dilakukan hampir tiap bulan, dan sudah berlangsung sejak empat tahun yang lalu. Mereka membentuk Aliansi Serikat Pekerja Serikat Buruh Serang, yang terdiri dari FSPMI, FSP-KEP, KSPSI, KSBSI, dan SPN. Bahkan, pada rapat terakhir yang diselenggarakan di Bhayangkara – Serang, juga nampak hadir Ketua Korwil Federasi Serikat Buruh Banten (FSBB) Kab. Serang.

Mereka biasa mengerjakan isu-isu strategis secara bersamaan. Terbukti lebih efektif, dan hasilnya juga lebih baik.

Memang perbedaan pandangan tidak bisa terhindarkan. Namun pesan yang ingin disampaikan, bahwa persatuan dan soliditas gerakan bisa diwujudkan. Sebab nyatanya, di tingkat lokal, sudah ada yang berhasil menjalankan.

Beberapa kali, saya juga pernah mendengar bahwa ada beberapa induk organisasi di tingkat nasional (dewan pimpinan pusat) yang tidak merestui anggotanya membentuk aliansi dengan SP/SB lain di tingkat daerah. Saya tidak tahu pasti apa sebabnya, barangkali khawatir di daerah akan melepaskan diri (mendirikan SP/SB baru).

Namun dengan pertemuan Sukabumi, mudah-mudahan hal itu tidak lagi terjadi. Tidak ada yang kuat tanpa persatuan. Maka, memang sudah saatnya bagi kita untuk menghapus jauh-jauh kepentingan pribadi dan egoisme dalam mengelola organisasi.

Oleh: Kahar S. Cahyono
Founder suarasolidaritas.blogspot.com
 
Kembali lagi ke atas