21 April 2009

Buruh Minta Perda Ketenagakerjaan Dikaji Ulang

Karena Belum Sentuh Persoalan Inti

SERANG-Forum Solidaritas Buruh Serang meminta agar Peraturan Daerah (Perda Ketenagakerjaan yang telah disahkan beberapa waktu lalu dikaji ulang, karena pasal yang terdapat dalam Perda tersebut belum menyentuh persoalan-persoalan inti yang dihadapi kaum buruh.

Kepada Radar Banten, Minggu (12/4), Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM Forum Solidaritas Buruh Serang, Argo Priyo Sujatmiko, mengatakan, pihaknya telah meminta kepada Pansus Ketenagakerjaan agar tidak terburu-buruh mengesahkan peraturan ini. Karena masih ada beberapa hal yang belum menyentuh persoalan. "Ada 4 poin yang sangat penting bagi buruh yaitu tenaga kontrak, percaloan tenaga kerja, kebebasan berserikat, dan upah yang di bawah UMK. Nah, empat masalah ini belum dijelaskan secara rinci di Perda sehingga kami khawatir jika dipaksakan untuk dijadikan aturan maka nasib buruh tidak akan berubah," kata Priyo.

Mengenai percaloan tenaga kerja, menurutnya, masih dilakukan oleh oknum. "Para calo ini meminta uang kepada calon tenaga kerja antara Rp. 500 ribu – Rp. 2 juta padahal calon tenaga kerja ini hanya jadi karyawan kontrak," kata Priyo.

Terkait kritik ini, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Serang, Sudrajat, mengungkapkan bahwa Perda yang telah disahkan masih dikaji di bagian hukum sehingga belum diberlakukan. (kar)

Tulisan ini dimuat di Radar Banten pada hari Selasa, 14 April 2009.

Pengusaha Divonis 1,5 Tahun Penjara

Pasuruan, KOMPAS – Fathoni Prawata, General Manager PT King Jim Indonesia, divonis 1,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin (12/1). Vonis terkait kasus pemberhangusan kegiatan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia di perusahaan itu.

Amar putusan dibacakan majelis hakim, yang di ketuai Bagus Irawan, secara bergantian. Terdakwa dinyatakan terbukti secara meyakinkan, menghalang-halangi kegiatan serikat buruh. Caranya, antara lain, dengan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), intimidasi, menurunkan jabatan atau mutasi, serta tidak membayar atau mengurangi upah buruh.

Hal tersebut dinilai melanggar Undang-Undang Serikat Buruh Serikat Pekerja No. 21 tahun 2000. Dengan demikian, terdakwa dinyatakan bersalah dan dihukum 1,5 tahun penjara. Hukuman itu lebih ringan enam bulan daripada tuntutan jaksa penuntut umum, Rudi Irawan.

“Putusan yang kami buat sama sekali tidak dibawah intervensi pengusaha, pengusaha, uang, ataupun buruh. Putusan ini murni dari majelis hakim. Oleh sebab itu, saya minta semua pihak menghormati,” kata Bagus Irawan, sebelum memulai sidang.
Terdakwa melalui kuasa hukumnya, Adi Soeyono, menolak vonis itu. Pertimbangannya, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) PT. KJI bukan serikat pekerja sah sehinga seluruh dakwaan selayaknya batal demi hukum. “Kalau PHK dipersoalkan semestinya tidak dibawa kehukum pidana di pengadilan negeri, melainkan di pengadilan hubungan industrial”.

Ketua FSPMI Jatim Pujianto menyatakan, pihaknya mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum, mulai polisi, jaksa, hingga hakim. Putusan itu merupakan tolak pertama bagi penegak hokum ketenagakerjaan di Indonesia, sejak pemerintah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 98 tettang Kebebasan Berserikat pada tahun 2000.

“Ini adalah bukti masih ada keadilan untuk buruh. Negara kita sudah memiliki instrumen perundang-undangan untuk menyelesaikan kasus ketenagakerjaan. Tinggal sekarang aparat penegak hukumnya, mau bersih atau tidak,” kata Pujianto.
Sidang kasus buruh di PT KJI disidangkan mulai 5 November 2008. Sebanyak 14 saksi dihadirkan, termasuk dua saksi ahli.
Terpidana telah di tahan.

Kasus berawal dari tidak adanya tanggapan manajemen terhadap perundingan perjanjian kerja bersama yang diajukan FSPMI, pada 28 November 2007 dan 28 Januari 2008.
Pada 5 Mei 2008, FSPMI memberitahukan rencana mogok kerja pada 14 Mei 2008. Pengusaha menanggapi dengan mengeluarkan pengumuman bernada ancaman. Akibatnya, 150 anggota FSPMI mengundurkan diri. Pada 14 Mei, 103 buruh mogok kerja selama satu jam. Sehari kemudian, empat pengurus yang terlibat aksi terken PHK. (LAS)

Keterangan Pers: Raperda Ketenagakerjaan Perlu Ditinjau Kembali

Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS), bekerjasama dengan Sekretariat Perburuhan Institut Sosial (SPIS) menyelenggarakan Focussed Group Discussion, di Cikande – Serang pada tanggal 12 April 2009. Pertemuan ini dihadiri oleh 25 orang peserta, dengan latar belakang aktivis serikat pekerja.

Dalam pertemuan ini, ada beberapa isu yang dibicarakan secara intensif, antara lain:

1. Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk membuat peraturan yang mengejewantahkan peraturan di tingkat nasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Di dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945 dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah.”



2. Pada negara hukum yang demokratis, Peraturan Daerah (Perda) merupakan alat utama pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada lembaga-lembaga di daerah. Hal ini menunjukkan sisi penting dari perancangan Perda, yaitu membentuk Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan.” Selain itu, suatu peraturan daerah harus mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapi di daerah tersebut. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UU 13/2003) tentang Ketenagakerjaan telah berlaku selama hampir 9 tahun hingga saat ini. Tetapi dirasakan bahwa UU 13/2003 memerlukan sebuah kontekstualisasi di Kabupaten Serang demi menjawab persoalan sosial yang terjadi, dan pada akhirnya diharapkan bahwa kesejahteraan masyarakat Serang meningkat.



3. Dalam kaitan dengan itu, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) telah melakukan riset mengenai kondisi ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten Serang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk merumuskan permasalahan-permasalahan utama ketenagakerjaan yang dihadapi oleh para buruh di Kabupaten Serang. Adapun permasalahan ketenagakerjaan yang ditemui selama pelaksanaan jajak pendapat tersebut, antara lain:



1. Praktek Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/sistem kerja kontrak) yang tidak sesuai dengan UU 13/2003. Buruh yang mempunyai hubungan PKWT mengalami hal-hal seperti: pemberlakuan jam kerja yang melebihi ketentuan UU, kelebihan jam kerja tidak di hitung lembur, jam kerja sering berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan perusahaan, perpanjangan masa kontrak berulang-ulang, mempekerjakan buruh kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap atau inti (core production), ruang gerak untuk bergabung dengan serikat buruh relatif terbatas dibanding buruh tetap karena takut kontraknya tidak diperpanjang. Selain itu, buruh PKWT kerap kali tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek.



2. Proses penerimaan buruh yang juga kerap menggunakan ”oknum tertentu”, sehingga buruh harus menyetor sejumlah uang yang besarnya mencapai 500 ribu s/d 2 juta agar bisa diterima bekerja.



3. Terkait dengan kebebasan berserikat. Misalnya, aktivis serikat pekerja tidak diberi dispensasi untuk mengikuti kegiatan serikat pekerja, mutasi/demosi, dsb. Selain dari pengusaha, rupanya serikat buruh pun harus berhadap-hadapan dengan Dinas Tenaga Kerja, yang seharusnya memiliki fungsi pengayom dan pengawasan terhadap hubungan industrial. Selama ini, ada indikasi Disnaker tidak tegas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berserikat.



4. Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 1/1999 mengenai Upah Minimum, upah minimum seharusnya diberikan kepada buruh yang memiliki masa kerja kurang dari satu tahun. Selain itu, buruh yang memiliki status tetap, tidak tetap maupun dalam masa percobaan harus diberikan upah serendah-rendahnya sebesar upah minimum. Tetapi dalam prakteknya, di Serang, kerap kali upah minimum menjadi upah maksimal bagi buruh, tanpa mempedulikan lamanya waktu kerja. Padahal seharusnya untuk buruh yang telah melewati masa kerja satu tahun, diberikan upah sesuai dengan skala upah yang dilakukan atas kesepakatan tertulis antara serikat buruh dengan pengusaha.



5. Hak-hak normatif buruh yang terus dilanggar tidak dapat dipisahkan dari sanksi atas pelanggaran UU No. 13/2003 tidak menjadi sebuah ”daya tekan” bagi pengusaha untuk mau taat terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya. Oleh karenanya dibutuhkan aturan yang mempertegas sanksi-sanksi dalam rangka mengejawantahkan aturan terkait sanksi di dalam UU No. 13/2003.



4. Terkait dengan Raperda Ketenagakerjaan yang sudah diparipurnakan oleh DPRD Kabupaten Serang pada tanggal 31 Maret 2009, sesuai dengan kesimpulan FGD tersebut, untuk dan atas nama Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) meyatakan hal-hal sebagai berikut:



1. FSBS menegaskan kembali, bahwa fungsi Perda adalah untuk menjawab permasalahan sosial yang dihadapi di daerah tersebut. Atau dalam kata lain, Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.



2. FSBS menyesalkan sikap Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Serang yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk memparipurnakan Raperda Ketenagakerjaan. FSBS khawatir, Perda tersebut tidak mampu menjawab permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Serang, dan justru akan membuat permasalahan baru di kemudian hari.



3. FSBS menyerukan kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh se-Kabupaten Serang dan pihak-pihak yang peduli pada perbaikan nasib masyarakat (kususnya pekerja/buruh) untuk membentuk semacam tack-force (kelompok kerja) yang bertugas melakukan tinjuan kritis terhadap Perda Ketenagakerjaan.



Serang, 12 April 2009

04 April 2009

Hariyati: Srikandi Kaum Buruh


Keputusannya untuk meninggalkan bumi Serambi Mekah empat belas tahun yang lalu telah membuatnya menjadi perempuan yang bermental baja. Keteguhannya dalam memegang prinsip-prinsip perjuangan, membuatnya cukup disegani, baik kawan atau lawan. Tidak salah, bila kemudian seorang Hariyati dipercaya teman-temannya menjadi Ketua Federasi SPKEP di tempatnya bekerja.

Terlahir sebagai anak tunggal di Kabupaten Blangpidi, Aceh Selatan, tidak membuat Hariyati kecil menjadi manja. Buktinya, sosok yang sempat menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Serambi Mekkah dan Abdul Yatama ini tanpa keraguan mengambil keputusan untuk merantau ke Serang – Banten. Jauh dari kampung halaman, orang tua, dan sahabat karibnya.

“Waktu itu aku diajak Paman. Kebetulan Paman sebagai Danramil Kecamatan Kopo. Ya udah, akhirnya saya ikut. Hitung-hitung untuk menimba pengalaman…,” ujar Hariyati , mengenang.
Awalnya, Hariyati sempat menganggur selama 6 bulan. Dalam rentang waktu tersebut, tanpa kejelasan akan segera mendapat pekerjaan, sempat terbesit dalam benaknya untuk kembali ke Blangpidi. Namun jalan hidup yang harus dilalui Hariyati ternyata berada di Provinsi Banten (saat itu masih Jawa Barat), sebab dalam kebimbangan itu, ia kemudian diterima bekerja di PT. Sinlong.

“Awal-awal bekerja, membuat saya sangat kaget. Di Aceh, lewat jam 8 malam tidak ada perempuan yang keluyuran. Tetapi disini kondisinya berbeda seratus delapanpuluh derajat. Bahkan buruh-buruh perempuan bekerja dengan sistem shift, yang masuk kerja lewat jam 10 malam,” ujar Hariyati sambil menerawang kedepan. Seolah sedang membangkitkan ingatannya kembali pada peristiwa belasan tahun yang lalu.
Bagi sosok berjilbab ini, pertamakali masuk kerja adalah pergulatan batin yang sangat keras. Meski diakuinya hal itu sempat membuatnya sedih, namum dia bisa membuktikan diri bahwa ia mampu mengatasi permasalahan itu.

Kalau kita berjalan harus sampai ke ujung, adalah prinsip yang dipegang benar oleh Hariyati. Buktinya, disela-sela tanggung jawabnya sebagai Wakasie di perusahaan pencelupan benang tersebut, Hariyati juga dipercaya sebagai Ketua PUK FSPKEP PT. Sinlong. Siapa bilang perempuan diragukan kemampuannya dalam mengelola organisasi? Buktinya, di perusahaan ini, dari lima orang pengurus yang aktif, seluruhnya adalah perempuan.

Dalam upaya menambah keterampilan, Haryati juga pernah mengikuti kursus menjahit. Baginya, wanita Indonesia harus mempunyai keterampilan praktis untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya, saat ini Hariyati aktif memberikan penyadaran kepada buruh perempuan untuk berpartisipasi dalam organisasi. Baginya, hanya dengan berpartisipasi, perubahan bisa diwujudkan.

Dalam pandangan seorang Hariyati, upah yang diterima buruh saat ini sudah relatif lebih baik. Permasalahannya sampai saat ini buruh belum terbiasa mengelola anggaran secara efektif dan efisien. Seberapapun besar gaji yang diterima buruh, kalau tidak dikelola dengan benar, pasti akan kurang. Oleh karena itu, bagi saya, kita juga harus memberikan pandangan yang benar soal pengelolaan keuangan keluarga. Bukan sekedar teriak-teriak upah murah, namun faktanya bisa kredit macam-macam. Montor, kulkas, TV, rumah, dsb.
Namun begitu, Hariyati tidak serta merta melupakan orang tuanya di Kampng Halaman, sadar posisinya sebagai anak tunggal, ia mengajak ibunya tinggal bersamanya. “Ibu harus ikut saya. Biar tahu suka duka anak semata wayangnya…” ujar Hariyati menutup perbincangan dengan Garis senja itu.

02 April 2009

Tanggapan FSBS terhadap Raperda Ketenagakerjaan Kabupaten Serang


Otonomi daerah muncul sebagai jawaban untuk membuat masyarakat lebih dekat dengan pengambil kebijakan yang diharapkan lebih mengerti tentang konteks lokal. Seperti ditulis Jimly Asshiddiqie dalam makalahnya, “otonomi daerah berarti, otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.” Lebih lanjut di menjelaskan: “Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara.”

Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah persoalan ketenagakerjaan, yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa saat kita berbicara tentang buruh maka permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari keluarga yang menjadi tanggungannya, entah itu orang tua, istri/suami atau anak-anaknya. Jika sesuatu terjadi pada buruh maka cepat atau lambat juga akan berdampak pada satuan sosial yang lebih besar.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UU 13/2003) tentang Ketenagakerjaan telah berlaku selama hampir 9 tahun hingga saat ini. Tetapi dirasakan bahwa UU 13/2003 memerlukan sebuah kontekstualisasi di Kabupaten Serang demi menjawab persoalan sosial yang terjadi, dan pada akhirnya diharapkan bahwa kesejahteraan masyarakat Serang meningkat.

Dalam kaitan dengan itu, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, Forum Solidaritas Buruh Serang telah melakukan jajak pendapat mengenai kondisi ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten Serang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk merumuskan permasalahan-permasalahan utama ketenagakerjaan yang dihadapi oleh para buruh di Kabupaten Serang.

Perlu diketahui, Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) merupakan sebuah elemen ketenagakerjaan di Kabupaten Serang yang di dalamnya terdiri dari para aktivis Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Serang. Pembentukannya dimulai pada 1999, dengan tujuan sebagai: (a) Wadah silaturahmi dan komunikasi pekerja/buruh, (b) Pemberdayaan SDM dan Perekonomian Pekerja/buruh dan keluarganya, (c) Lembaga riset, analisis kebijakan, dan pusat informasi ketenagakerjaan, dan (d) Memperjuangkan terbitnya regulasi (Perda) yang lebih memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh

Berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang ditemui selama pelaksanaan jajak pendapat tersebut, antara lain:

1. Permasalahan Terkait Hubungan Industrial

Kondisi hubungan industrial di daerah Kabupaten Serang memperlihatkan bahwa proses penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak normatif buruh sangat lemah. Kondisi ini terlihat dari persoalan dan banyaknya hubungan industrial yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku:

a. Praktek Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/sistem kerja kontrak) yang tidak sesuai dengan UU 13/2003. Buruh yang mempunyai hubungan PKWT mengalami hal-hal seperti: pemberlakuan jam kerja yang melebihi ketentuan UU, kelebihan jam kerja tidak di hitung lembur, jam kerja sering berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan perusahaan, perpanjangan masa kontrak berulang-ulang, mempekerjakan buruh kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap atau inti (core production), ruang gerak untuk bergabung dengan serikat buruh relatif terbatas dibanding buruh tetap karena takut kontraknya tidak diperpanjang. Selain itu, buruh PKWT kerap kali tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek.

Saya tahu, bahwa dalam UU 13/2003 tidak dibenarkan pengusaha menggunakan buruh kontrak untuk pekerjaan yang bersifat tetap atau inti. Tetapi bila perusahaan menghendaki demikian, apa yang bisa saya lakukan? Daripada saya kehilangan pekerjaan, lebih baik menerima apa adanya. Sebab tidak sedikit teman-teman saya yang tidak diperpanjang kontraknya, karena dianggap terlalu kritis menanyakan aturan tersebut.

Sumber: Wawancara dengan buruh PT. YL oleh FSBS, Maret 2008

b. Perusahaan juga sering melakukan pemutihan masa kerja dari status PKWTT menjadi PKWT. Misalnya dengan cara buruh ditawari pesangon dan direkrut kembali dengan syarat mau menjadi buruh PKWT.

Awal tahun 2008, PT. SQ melakukan PHK besar-besaran. Meskipun begitu, saya dan sekitar sepuluh orang buruh yang lain, diminta untuk terus bekerja dengan status sebagai buruh kontrak. Banyak hak-hak buruh yang sebelumnya kami dapatkan, juga dipangkas. Salah satunya, saya tidak lagi diikutkan dalam program Jamsostek ....

Sumber: Wawancara Responden oleh FSBS, Maret 2008

c. Maraknya praktek pengunaan buruh harian lepas dengan tidak adanya jam kerja dan upah yang jelas.

d. Pemberlakuan pemborongan pekerjaan yang tidak sesuai dengan UU No. 13/2003, yang diborongkan bukan merupakan pekerjaan penunjang tapi pekerjaan inti.

e. Proses penerimaan buruh yang juga kerap menggunakan ”oknum tertentu”, sehingga buruh harus menyetor sejumlah uang yang besarnya mencapai 500 ribu s/d 2 juta agar bisa diterima bekerja.

Adalah sebuah kebanggaan tersendiri bisa mendapatkan pekerjaan. Apalagi bila ini merupakan pekerjaan perdana, setelah sekian lama lontang-lantung mencari kesempatan kerja yang semakin sulit didapatkan.
Membayar? Tak jadi soal. Rasanya, jauh lebih terhormat bisa bekerja dengan sedikit upah daripada tidak sama sekali. Dan itulah yang ada dalam pikiran Anton (bukan nama sebenarnya), ketika menandatangani surat perjanjian kerja, dengan status kontrak selama 6 bulan. Upah tidak lebih dari UMK dan akan dipotong bila tidak masuk kerja, apapun alasannya.
Keesokan harinya, petaka itu datang. Anton baru saja memasuki gerbang pabrik ketika orang (calo) yang membawanya ke sebuah pabrik itu memintanya agar segera melunasi sejumlah uang sebagai balas jasa karena sudah berhasil masuk kerja.
Karena memang tidak mempunyai uang yang totalnya mencapai 3 bulan gajinya itu, Anton berjanji akan membayarnya beberapa hari lagi. Namun laki-laki itu tetap bersikeras, agar Anton membayar hari itu juga.
Perdebatan pun terjadi. Bahkan untuk menyakinkan sang calo, Anton bersedia membuat kesepakatan tertulis, bahwa dirinya akan segera membayar si calo, segera setelah mendapatkan pinjaman.
Dan, jawaban inilah yang diterima. “Ya sudah, kalau kamu tidak bisa membayar sekarang, anak ini yang akan menggantikan pekerjaanmu. Dia uangnya sudah siap…,” sambil menunjuk pemuda dengan seragam hitam putih yang dari tadi terdiam.

Sumber: Wawancara dengan buruh PT. SQ oleh FSBS, Tahun 2007


2. Permasalahan Terkait Kebebasan Berserikat

a. Maraknya sistem outsourcing dan buruh kontrak berakibat pada menurunnya anggota serikat buruh. Hal paling utama yang menjadi akibatnya adalah ketakutan buruh kontrak untuk bergabung dengan serikat buruh karena biasanya kontrak tidak diperpanjang lagi. Selain itu, dengan pemberlakuan jam kerja yang di luar peraturan perundang-undangan, maka buruh kontrak dan buruh outsourcing sangat sulit untuk dapat terlibat dalam kegiatan berserikat.

b. Taktik lain yang digunakan oleh pengusaha adalah melakukan kriminalisasi terhadap aktivis. Misalnya yang terjadi di PT. SPT, dimana beberapa aktivis buruh dilaporkan ke Polres Serang atas dugaan pencemaran nama baik setelah melakukan mogok kerja di perusahaannya. Cara ini biasanya digunakan untuk mengeluarkan aktivis serikat buruh dari perusahaan tanpa melalui proses PHK. Pasal-pasal yang bisanya digunakan adalah pasal-pasal karet seperti Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik atau Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Biasanya kriminalisasi digunakan juga untuk membungkam kevokalan aktivis serikat buruh dalam menyampaikan tuntutan buruh baik pelaksanaan hak-hak normatif buruh maupun tuntutan lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan buruh. Sangat disayangkan bahwa permasalahan yang seharusnya merupakan ranah hubungan industrial kemudian dialihkan menjadi persoalan pidana.

c. Selain mendapatkan tantangan kebebasan berserikat dari pengusaha, rupanya serikat buruh pun harus berhadap-hadapan dengan Dinas Tenaga Kerja, yang seharusnya memiliki fungsi pengayom dan pengawasan terhadap hubungan industrial. Selama ini, ada indikasi Disnaker tidak tegas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berserikat.


3. Permasalahan Terkait Pengupahan

Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 1/1999 mengenai Upah Minimum, upah minimum seharusnya diberikan kepada buruh yang memiliki masa kerja kurang dari satu tahun. Selain itu, buruh yang memiliki status tetap, tidak tetap maupun dalam masa percobaan harus diberikan upah serendah-rendahnya sebesar upah minimum. Tetapi dalam prakteknya, di Serang, kerap kali upah minimum menjadi upah maksimal bagi buruh, tanpa mempedulikan lamanya waktu kerja. Padahal seharusnya untuk buruh yang telah melewati masa kerja satu tahun, diberikan upah sesuai dengan skala upah yang dilakukan atas kesepakatan tertulis antara serikat buruh dengan pengusaha.


4. Permasalahan Terkait Sanksi yang diatur dalam UU No. 13/2003

Hak-hak normatif buruh yang terus dilanggar tidak dapat dipisahkan dari sanksi atas pelanggaran UU No. 13/2003 tidak menjadi sebuah ”daya tekan” bagi pengusaha untuk mau taat terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya. Oleh karenanya dibutuhkan aturan yang mempertegas sanksi-sanksi dalam rangka mengejawantahkan aturan terkait sanksi di dalam UU No. 13/2003.


II. Peraturan Daerah Kabupaten Serang tentang Ketenagakerjaan sebagai Jawaban atas Permasalahan Ketenagakerjaan di Kabupaten Serang

Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk membuat peraturan yang mengejewantahkan peraturan di tingkat nasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Di dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945 dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”

Selanjutnya, Sonny Maulana Sikumbang dalam makalahnya menyatakan: “Pada negara hukum yang demokratis, Perda merupakan alat utama pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada lembaga-lembaga di daerah. Hal ini menunjukkan sisi penting dari perancangan Perda, yaitu membentuk Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan.” Selain itu, suatu peraturan daerah harus mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapi di daerah tersebut.

Oleh karenanya, dengan masalah sosial yang ditemukan dalam komunitas buruh di Serang maka diharapkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Ketenagakerjaan diharapkan akan segera dibentuk dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi.
 
Kembali lagi ke atas