27 Oktober 2009

Menuju Dunia yang Lebih Luas


Oleh: Kahar S. Cahyono

Konsisten untuk terus menulis bukanlah hal yang mudah. Sungguh. Apalagi menulis sebuah blog, yang tidak memberikan keuntungan finansial secara langsung.

Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Blog suara solidaritas ini, misalnya, keberadaannya seperti timbul tenggelam. Antara ada dan tiada. Bahkan pernah dalam beberapa bulan tidak ada posting sama sekali.

Bahkan ketika mengetahui ada lomba blogger yang banyak diselenggarakan banyak pihak, saya tidak bergeming. Mengikutkan blog ini dalam lomba? He…he…, bukannya apa-apa, sepertinya saya harus tahu diri. Kalau tidak ingin dibilang nekad.

Namun, dua peristiwa berikut ini membuat saya kembali masuk ke “rumah maya” yang dulu pernah saya bangun. Pertama, manakala Bung Safrudin Morian Pandapotan Siahaan meminta izin untuk menggunakan blog Suara Solidaritas di grup yang dia buat. Saya mengenalnya di situs pertemanan facebook. Tulisannya mengalir setiap kali saya memposting di situs jejaring sosial itu.

Kedua, saat saya tulisan saya memenangkan lomba career story yang diselenggarakan konsultankarir.com. Saat yang sama saya juga mengikuti lomba resensi buku yang diselenggarakan Lingkar Pena Publishing. Berangkat dari situ, saya rajin berkunjung dari satu blog ke blog yang lain. Geleng-geleng kepala. Hampir semua penulis hebat yang saya kenal, hampir dipastikan memiliki blog pribadi yang telah dikelolanya bertahun-tahun.

Motivasi saya menulis di blog bangkit kembali.

Suara solidaritas memang terkesan sebuah blog yang dibangun terkait dengan isu-isu perburuhan. Pendapat ini benar, karena memang pada awalnya blog ini dibuat sebagai representasi atas Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS). Sebuah elemen ketenagakerjaan di Serang – Banten, yang salah satunya fokus pada riset dan analisis kebijakan, khususnya dibidang ketenagakerjaan. Keberadaan saya sebagai aktivis serikat buruh, juga turut mempengaruhi tulisan-tulisan yang saya buat.

Namun seiring dengan bergantinya hari, saya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan blog ini sebagai “corong” FSBS. Bagi saya, pembatasan berdasarkan komunitas akan membuat blog ini menjadi kerdil, lagi pula banyak tulisan didalamnya lebih kepada pendapat saya pribadi daripada kebijakan FSBS sebagai sebuah organisasi.

Lebih luas dari itu, kedepan, saya ingin merekonstruksi kembali blog ini menjadi sebuah media untuk menyuarakan kerisauan terhadap system yang tidak adil. Apapun itu! Pendek kata, ide awal untuk menjadikan blog ini sebagai medan perjuangan tidak akan padam. Kritis, tetapi juga cerdas dan mencerdaskan. Insya Allah.

Dengan slogan, “Mempengaruhi Dunia dengan Kata-kata”, saya berharap tulisan-tulisan didalamnya bisa menginspirasi banyak orang. Terdengar terlalu muluk, namun sepanjang cita-cita itu mampu dibayangkan, saya kira tidak menutup kemungkinan untuk diwujudkan.

Semoga saya diberi kemudahan oleh Allah untuk terus menulis.

Catatan: Foto diambil dari Konsultankarir.com

26 Oktober 2009

Merekonstruksi Peran Serikat Buruh


Dalam editorial Suplemen FPBN, Agustus-September 2008, Liest Pranowo menulis, “kawan-kawan buruh Korea membuktikan bahwa aliansi serikat buruh mampu membangun sebuah gerakan besar, yang berhasil mempengaruhi sebuah perubahan bagi nasib buruh.”

Pernyataan Liest di atas merujuk pada aksi unjuk rasa yang pernah dilakukan KCTU (Korean Confederation Trade Union). Sebuah aksi yang membakar semangat dan mampu mempengaruhi banyak kelompok lain dari berbagai Negara untuk tetap bertahan dalam aksi besar menolak Globalisasi Perdagangan.

Pertanyaan kita kemudian, apakah keberhasilan buruh Korea membangun aliansi yang kuat bisa diwujudkan di Indonesia? Sebagai sebuah spirit perjuangan, memang kita harus optimis. Kemenangan itu pasti bisa diraih. Cepat atau lambat.

Kita memang harus menaruh perhatian lebih terhadap pembentukan aliansi organisasi pekerja di negeri ini. Sejak euphoria kebebasan berserikat bergulir, seharusnya membuat keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) semakin menguat. Saya melihat yang terjadi justru sebaliknya. Masing-masing SP/SB saling klaim sebagai yang paling bersih dan peduli terhadap buruh. Mereka saling mencurigai. Bahkan tak jarang memposisikan pihak lain sebagai lawan. Di tingkat basis, bahkan seringkali perseteruan hebat untuk memperebutkan anggota.

Dalam hal ini, kita kesampingkan dulu impian tentang kemungkinan terbentuknya sebuah aliansi raksasa yang melibatkan Konfederasi SP/SB besar di Indonesia. Saya kira, untuk urusan beraliansi, element-element buruh di tingkat lokal (daerah) justru lebih layak untuk diapresiasi.

Namun, di tengah gempuran fleksibilitas pasar kerja dan lemahnya penegakan hukum yang semakin menggila, agaknya kita harus tetap realistis. Dengan kata lain, kita harus tetap berpijak di bumi, meski impian kita berada di antara bintang di langit sana. Salah satunya adalah dengan tetap menjaga ikatan emosional dengan kaum buruh. Sebagai basis perjuangan serikat buruh. Apalagi dalam membangun aliansi, yang akan menyatukan berbagai pemikiran, keyakinan, dan pendapat yang berbeda.

Faktanya, hingga saat ini keberadaan serikat pekerja antara ada dan tiada. Belum membumi. Bahkan tidak sedikit kalangan buruh yang menganggap SP/SB sebagai pembuat masalah ketimbang menyelesaikan masalah. Sebabnya adalah, pemikiran, perasaan, keyakinan, pendapat, dan kepentingan elit-elit buruh terpisah dengan kaum buruh. Akibatnya kaum buruh merasa dijadikan komoditas daripada dilindungi.

“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan, slogan itu, bohong besar!” Pernyataan ini disampaikan oleh seorang peserta dalam sebuah diskusi bertajuk pemenangan aktivis buruh dalam pemilu 2009 di Balaraja. Lirih memang. Namun terdengar cukup jelas di telinga saya, yang juga hadir sebagai peserta.

Selanjutnya, dengan semangat empat lima pria itu memberikan contoh konkret, bagaimana saat ini serikat pekerja di tempatnya bekerja tidak lagi dipercaya oleh kaum buruh. Bahwa serikat pekerja hanya bisa mengobral janji dan menjual mimpi. Lebih parah lagi, banyak pengurusnya yang telah “menjual” anggota untuk sebuah ambisi pribadi para pengurusnya.

Jangankan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan anggota dan keluarganya. Bahkan seringkali organisasi yang berfungsi membela, melindungi, dan memperjuangkan hak dan kepentingan anggota serta keluarganya ini tidak mampu keluar dari permasalahan internalnya sendiri.

Kaget? Tentu saja. Pernyataan ini sempat membuat saya tertegun beberapa saat. Kalimat demi kalimat yang meluncur dari pemuda itu cukup akurat. Bahkan sedemikian detail menguraikan sudut-sudut kecil, kelemahan serikat pekerja. Dari gayanya berargumentasi, saya yakin, ia cukup memahami gerakan organisasi buruh.

Dari diskusi yang tidak selesai tadi, semakin menegaskan pentingnya untuk mengkonsolidasikan kembali simpul-simpul kekuatan buruh. Sehingga organisasi pekerja mampu beberikan konstribusi positif dalam pembangunan bangsa. Organisasi yang tumbuh secara demokratik, mandiri, bebas serta memberikan konstribusi positif bagi hubungan industrial yang harmonis. Bukan sekadar organisasi prakmatis, dengan tujuan-tujuan jangka pendek yang hanya menonjolkan popularitas para fungsionarisnya.(*)

Oleh: Kahar S. Cahyono
Tangerang Tribun, 26 Oktober 2009

Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pertumbuhan industri di Tangerang, pada satu sisi memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun di luar itu, nampaknya masyarakat harus menanggung beban yang besar. Apalagi jika pertumbuhan industri tumbuh dengan mereduksi kepentingan publik menjadi komoditi yang dieksploitasi untuk kepentingan sesaat dan jangka pendek.

Permasalahan krusial yang terpampang di depan mata adalah terkait dengan dampak pencemaran limbah industri. Seperti yang pernah disampaikan Asep Jatnika, Kepala Pengawasan dan Pengendalian Limbah Kabupaten Tangerang, dalam sebuah acara Dialog Publik bertajuk Demokrasi dan Lingkungan Hidup di Tangerang.”Banyak industri besar, termasuk industi penghasil B3, yang membuang limbahnya ke sungai tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Sebanyak 192 industri di Tangerang berpotensi menghasilkan limbah cair, 111 industri mempunyai IPAL dengan total potensi limbah cair 8.815 m3/hari dan 81 industri tidak memiliki IPAL dengan potensi limbah cair 8.370 m3/hari,” ujarnya.

Tidak berhenti sampai disitu, data tersebut masih ditambah dengan 110 industri yang berpotensi menghasilkan limbah gas. Dari jumlah tersebut, baru 50 industri yang memiliki cerobong yang sudah sesuai dengan Keputusan Bapedal Nomor: 205/Bapedal/07/1996. Belum lagi dengan dengan adanya 311 industri yang berpotensi menghasilkan limbah padat. 161 diantaranya menghasilkan limbah pada non B3, dan 150 lainnya menghasilkan limbah padat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Bisa dibayangkan, kerusakan lingkungan yang lebih parah akan terjadi, apabila pertumbuhan industri tidak disertai dengan adanya keseimbangan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. Padahal kita tahu, lingkungan yang sehat adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi untuk terwujudnya masyarakat yang sejahera dan berkualitas.

Datanglah untuk melihat sungai-sungai yang mengalir di daerah padat industri, Tangerang misalnya. Kebanyakan sudah tercemar. Sungai Cisadane, Sungai Cirarab, Sungai Cimanceri, Sungai Angke, dsb, lebih tepat disebutkan mengalirkan limbah daripada mengalirkan air. Tidak bisa disangkal, perkembangan industri meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya air sehingga terjadi penurunan kualitas air.

Ironisnya, di saat yang sama, sungai-sungai yang mengalir di Wilayah Tangerang banyak dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat, seperti mandi, mencuci, dan pertanian. Dalam jangka panjang, bahaya yang lebih besar akan mengancam. Sebab untuk memulihkan lingkungan yang rusak membutuhkan dana yang tidak sedikit dan jangka waktu yang relatif lama.

Nampak sekali, bahwa Pemerintah tidak berdaya mencegah agar kerusakan tidak terjadi dan lingkungan hidup tetap lestari. Padahal perangkat untuk itu sudah disediakan. Sebut saja yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran air, kita mempunyai Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Air, Keputusan Menteri No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu bagi Kegiatan Industri dan Keputusan Menteri No. 113 Tahun 2003 tentang Limbah Domestik.

Lemahnya penegakan hukum (law inforcement) masih ditambah dengan adanya krisis acuh tak acuh masyarakat. Masih minimnya kepedulian dan perhatian masyarakat atas regulasi yang sejatinya menjamin masa depan dan kesejahteraan. Akibatnya, kontrol sosial tidak terbangun.

Kita sepakat, industri di Tangerang harus tumbuh. Namun kita juga tidak setuju apabila pertumbuhan industri dilakukan dengan cara-cara yang menerapkan pencegahan pencemaran lingkungan dengan menerapkan teknologi bersih, pemasangan alat pencegahan pencemaran, melakukan proses daur ulang, dsb. Dalam konteks ini, adanya regulasi seharusnya difungsikan secara efektif untuk kepentingan mencegah kerusakan. Bukan semata-mata untuk kepentingan PAD, karena mensyaratkan biaya administrasi untuk perijinan-perijinan tertentu. Betapapun besarnya, kerusakan lingkungan tidak tergantikan oleh uang.

Bila saja bencana bisa dihindari, maka tidak perlu lagi ada biaya untuk litigasi suatu bencana. Dengan demikian, biaya tersebut bisa digunakan untuk investasi dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan itu bisa dilakukan bila seluruh pabrik di Tangerang, juga di Indonesia, peduli terhadap lingkungannya.(*)

Oleh: Kahar S. Cahyono
Tangerang Tribun, 19 Oktober 2009
 
Kembali lagi ke atas