26 Oktober 2009

Merekonstruksi Peran Serikat Buruh


Dalam editorial Suplemen FPBN, Agustus-September 2008, Liest Pranowo menulis, “kawan-kawan buruh Korea membuktikan bahwa aliansi serikat buruh mampu membangun sebuah gerakan besar, yang berhasil mempengaruhi sebuah perubahan bagi nasib buruh.”

Pernyataan Liest di atas merujuk pada aksi unjuk rasa yang pernah dilakukan KCTU (Korean Confederation Trade Union). Sebuah aksi yang membakar semangat dan mampu mempengaruhi banyak kelompok lain dari berbagai Negara untuk tetap bertahan dalam aksi besar menolak Globalisasi Perdagangan.

Pertanyaan kita kemudian, apakah keberhasilan buruh Korea membangun aliansi yang kuat bisa diwujudkan di Indonesia? Sebagai sebuah spirit perjuangan, memang kita harus optimis. Kemenangan itu pasti bisa diraih. Cepat atau lambat.

Kita memang harus menaruh perhatian lebih terhadap pembentukan aliansi organisasi pekerja di negeri ini. Sejak euphoria kebebasan berserikat bergulir, seharusnya membuat keberadaan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) semakin menguat. Saya melihat yang terjadi justru sebaliknya. Masing-masing SP/SB saling klaim sebagai yang paling bersih dan peduli terhadap buruh. Mereka saling mencurigai. Bahkan tak jarang memposisikan pihak lain sebagai lawan. Di tingkat basis, bahkan seringkali perseteruan hebat untuk memperebutkan anggota.

Dalam hal ini, kita kesampingkan dulu impian tentang kemungkinan terbentuknya sebuah aliansi raksasa yang melibatkan Konfederasi SP/SB besar di Indonesia. Saya kira, untuk urusan beraliansi, element-element buruh di tingkat lokal (daerah) justru lebih layak untuk diapresiasi.

Namun, di tengah gempuran fleksibilitas pasar kerja dan lemahnya penegakan hukum yang semakin menggila, agaknya kita harus tetap realistis. Dengan kata lain, kita harus tetap berpijak di bumi, meski impian kita berada di antara bintang di langit sana. Salah satunya adalah dengan tetap menjaga ikatan emosional dengan kaum buruh. Sebagai basis perjuangan serikat buruh. Apalagi dalam membangun aliansi, yang akan menyatukan berbagai pemikiran, keyakinan, dan pendapat yang berbeda.

Faktanya, hingga saat ini keberadaan serikat pekerja antara ada dan tiada. Belum membumi. Bahkan tidak sedikit kalangan buruh yang menganggap SP/SB sebagai pembuat masalah ketimbang menyelesaikan masalah. Sebabnya adalah, pemikiran, perasaan, keyakinan, pendapat, dan kepentingan elit-elit buruh terpisah dengan kaum buruh. Akibatnya kaum buruh merasa dijadikan komoditas daripada dilindungi.

“Buruh bersatu tak bisa dikalahkan, slogan itu, bohong besar!” Pernyataan ini disampaikan oleh seorang peserta dalam sebuah diskusi bertajuk pemenangan aktivis buruh dalam pemilu 2009 di Balaraja. Lirih memang. Namun terdengar cukup jelas di telinga saya, yang juga hadir sebagai peserta.

Selanjutnya, dengan semangat empat lima pria itu memberikan contoh konkret, bagaimana saat ini serikat pekerja di tempatnya bekerja tidak lagi dipercaya oleh kaum buruh. Bahwa serikat pekerja hanya bisa mengobral janji dan menjual mimpi. Lebih parah lagi, banyak pengurusnya yang telah “menjual” anggota untuk sebuah ambisi pribadi para pengurusnya.

Jangankan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan anggota dan keluarganya. Bahkan seringkali organisasi yang berfungsi membela, melindungi, dan memperjuangkan hak dan kepentingan anggota serta keluarganya ini tidak mampu keluar dari permasalahan internalnya sendiri.

Kaget? Tentu saja. Pernyataan ini sempat membuat saya tertegun beberapa saat. Kalimat demi kalimat yang meluncur dari pemuda itu cukup akurat. Bahkan sedemikian detail menguraikan sudut-sudut kecil, kelemahan serikat pekerja. Dari gayanya berargumentasi, saya yakin, ia cukup memahami gerakan organisasi buruh.

Dari diskusi yang tidak selesai tadi, semakin menegaskan pentingnya untuk mengkonsolidasikan kembali simpul-simpul kekuatan buruh. Sehingga organisasi pekerja mampu beberikan konstribusi positif dalam pembangunan bangsa. Organisasi yang tumbuh secara demokratik, mandiri, bebas serta memberikan konstribusi positif bagi hubungan industrial yang harmonis. Bukan sekadar organisasi prakmatis, dengan tujuan-tujuan jangka pendek yang hanya menonjolkan popularitas para fungsionarisnya.(*)

Oleh: Kahar S. Cahyono
Tangerang Tribun, 26 Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas