02 April 2009

Tanggapan FSBS terhadap Raperda Ketenagakerjaan Kabupaten Serang


Otonomi daerah muncul sebagai jawaban untuk membuat masyarakat lebih dekat dengan pengambil kebijakan yang diharapkan lebih mengerti tentang konteks lokal. Seperti ditulis Jimly Asshiddiqie dalam makalahnya, “otonomi daerah berarti, otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini.” Lebih lanjut di menjelaskan: “Secara ideal, wilayah kekuasaan pemerintahan negara tidak dapat menjangkau atau turut campur dalam urusan pemerintahan desa. Biarkanlah masyarakat desa mengatur sendiri tata pemerintahan desa mereka serta mengatur perikehidupan bersama mereka di desa sesuai dengan kebutuhan setempat. Tidak perlu diadakan penyeragaman pengaturan untuk seluruh wilayah nusantara.”

Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan sebuah kesempatan untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat. Termasuk di dalamnya adalah persoalan ketenagakerjaan, yang tidak dapat dipisahkan dari persoalan sosial masyarakat. Hal ini dikarenakan bahwa saat kita berbicara tentang buruh maka permasalahannya tidak bisa dilepaskan dari keluarga yang menjadi tanggungannya, entah itu orang tua, istri/suami atau anak-anaknya. Jika sesuatu terjadi pada buruh maka cepat atau lambat juga akan berdampak pada satuan sosial yang lebih besar.

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UU 13/2003) tentang Ketenagakerjaan telah berlaku selama hampir 9 tahun hingga saat ini. Tetapi dirasakan bahwa UU 13/2003 memerlukan sebuah kontekstualisasi di Kabupaten Serang demi menjawab persoalan sosial yang terjadi, dan pada akhirnya diharapkan bahwa kesejahteraan masyarakat Serang meningkat.

Dalam kaitan dengan itu, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, Forum Solidaritas Buruh Serang telah melakukan jajak pendapat mengenai kondisi ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten Serang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk merumuskan permasalahan-permasalahan utama ketenagakerjaan yang dihadapi oleh para buruh di Kabupaten Serang.

Perlu diketahui, Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) merupakan sebuah elemen ketenagakerjaan di Kabupaten Serang yang di dalamnya terdiri dari para aktivis Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Serang. Pembentukannya dimulai pada 1999, dengan tujuan sebagai: (a) Wadah silaturahmi dan komunikasi pekerja/buruh, (b) Pemberdayaan SDM dan Perekonomian Pekerja/buruh dan keluarganya, (c) Lembaga riset, analisis kebijakan, dan pusat informasi ketenagakerjaan, dan (d) Memperjuangkan terbitnya regulasi (Perda) yang lebih memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh

Berbagai permasalahan ketenagakerjaan yang ditemui selama pelaksanaan jajak pendapat tersebut, antara lain:

1. Permasalahan Terkait Hubungan Industrial

Kondisi hubungan industrial di daerah Kabupaten Serang memperlihatkan bahwa proses penegakan hukum dan pemenuhan hak-hak normatif buruh sangat lemah. Kondisi ini terlihat dari persoalan dan banyaknya hubungan industrial yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku:

a. Praktek Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/sistem kerja kontrak) yang tidak sesuai dengan UU 13/2003. Buruh yang mempunyai hubungan PKWT mengalami hal-hal seperti: pemberlakuan jam kerja yang melebihi ketentuan UU, kelebihan jam kerja tidak di hitung lembur, jam kerja sering berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan perusahaan, perpanjangan masa kontrak berulang-ulang, mempekerjakan buruh kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap atau inti (core production), ruang gerak untuk bergabung dengan serikat buruh relatif terbatas dibanding buruh tetap karena takut kontraknya tidak diperpanjang. Selain itu, buruh PKWT kerap kali tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek.

Saya tahu, bahwa dalam UU 13/2003 tidak dibenarkan pengusaha menggunakan buruh kontrak untuk pekerjaan yang bersifat tetap atau inti. Tetapi bila perusahaan menghendaki demikian, apa yang bisa saya lakukan? Daripada saya kehilangan pekerjaan, lebih baik menerima apa adanya. Sebab tidak sedikit teman-teman saya yang tidak diperpanjang kontraknya, karena dianggap terlalu kritis menanyakan aturan tersebut.

Sumber: Wawancara dengan buruh PT. YL oleh FSBS, Maret 2008

b. Perusahaan juga sering melakukan pemutihan masa kerja dari status PKWTT menjadi PKWT. Misalnya dengan cara buruh ditawari pesangon dan direkrut kembali dengan syarat mau menjadi buruh PKWT.

Awal tahun 2008, PT. SQ melakukan PHK besar-besaran. Meskipun begitu, saya dan sekitar sepuluh orang buruh yang lain, diminta untuk terus bekerja dengan status sebagai buruh kontrak. Banyak hak-hak buruh yang sebelumnya kami dapatkan, juga dipangkas. Salah satunya, saya tidak lagi diikutkan dalam program Jamsostek ....

Sumber: Wawancara Responden oleh FSBS, Maret 2008

c. Maraknya praktek pengunaan buruh harian lepas dengan tidak adanya jam kerja dan upah yang jelas.

d. Pemberlakuan pemborongan pekerjaan yang tidak sesuai dengan UU No. 13/2003, yang diborongkan bukan merupakan pekerjaan penunjang tapi pekerjaan inti.

e. Proses penerimaan buruh yang juga kerap menggunakan ”oknum tertentu”, sehingga buruh harus menyetor sejumlah uang yang besarnya mencapai 500 ribu s/d 2 juta agar bisa diterima bekerja.

Adalah sebuah kebanggaan tersendiri bisa mendapatkan pekerjaan. Apalagi bila ini merupakan pekerjaan perdana, setelah sekian lama lontang-lantung mencari kesempatan kerja yang semakin sulit didapatkan.
Membayar? Tak jadi soal. Rasanya, jauh lebih terhormat bisa bekerja dengan sedikit upah daripada tidak sama sekali. Dan itulah yang ada dalam pikiran Anton (bukan nama sebenarnya), ketika menandatangani surat perjanjian kerja, dengan status kontrak selama 6 bulan. Upah tidak lebih dari UMK dan akan dipotong bila tidak masuk kerja, apapun alasannya.
Keesokan harinya, petaka itu datang. Anton baru saja memasuki gerbang pabrik ketika orang (calo) yang membawanya ke sebuah pabrik itu memintanya agar segera melunasi sejumlah uang sebagai balas jasa karena sudah berhasil masuk kerja.
Karena memang tidak mempunyai uang yang totalnya mencapai 3 bulan gajinya itu, Anton berjanji akan membayarnya beberapa hari lagi. Namun laki-laki itu tetap bersikeras, agar Anton membayar hari itu juga.
Perdebatan pun terjadi. Bahkan untuk menyakinkan sang calo, Anton bersedia membuat kesepakatan tertulis, bahwa dirinya akan segera membayar si calo, segera setelah mendapatkan pinjaman.
Dan, jawaban inilah yang diterima. “Ya sudah, kalau kamu tidak bisa membayar sekarang, anak ini yang akan menggantikan pekerjaanmu. Dia uangnya sudah siap…,” sambil menunjuk pemuda dengan seragam hitam putih yang dari tadi terdiam.

Sumber: Wawancara dengan buruh PT. SQ oleh FSBS, Tahun 2007


2. Permasalahan Terkait Kebebasan Berserikat

a. Maraknya sistem outsourcing dan buruh kontrak berakibat pada menurunnya anggota serikat buruh. Hal paling utama yang menjadi akibatnya adalah ketakutan buruh kontrak untuk bergabung dengan serikat buruh karena biasanya kontrak tidak diperpanjang lagi. Selain itu, dengan pemberlakuan jam kerja yang di luar peraturan perundang-undangan, maka buruh kontrak dan buruh outsourcing sangat sulit untuk dapat terlibat dalam kegiatan berserikat.

b. Taktik lain yang digunakan oleh pengusaha adalah melakukan kriminalisasi terhadap aktivis. Misalnya yang terjadi di PT. SPT, dimana beberapa aktivis buruh dilaporkan ke Polres Serang atas dugaan pencemaran nama baik setelah melakukan mogok kerja di perusahaannya. Cara ini biasanya digunakan untuk mengeluarkan aktivis serikat buruh dari perusahaan tanpa melalui proses PHK. Pasal-pasal yang bisanya digunakan adalah pasal-pasal karet seperti Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik atau Pasal 335 ayat (1) KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan. Biasanya kriminalisasi digunakan juga untuk membungkam kevokalan aktivis serikat buruh dalam menyampaikan tuntutan buruh baik pelaksanaan hak-hak normatif buruh maupun tuntutan lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan buruh. Sangat disayangkan bahwa permasalahan yang seharusnya merupakan ranah hubungan industrial kemudian dialihkan menjadi persoalan pidana.

c. Selain mendapatkan tantangan kebebasan berserikat dari pengusaha, rupanya serikat buruh pun harus berhadap-hadapan dengan Dinas Tenaga Kerja, yang seharusnya memiliki fungsi pengayom dan pengawasan terhadap hubungan industrial. Selama ini, ada indikasi Disnaker tidak tegas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berserikat.


3. Permasalahan Terkait Pengupahan

Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 1/1999 mengenai Upah Minimum, upah minimum seharusnya diberikan kepada buruh yang memiliki masa kerja kurang dari satu tahun. Selain itu, buruh yang memiliki status tetap, tidak tetap maupun dalam masa percobaan harus diberikan upah serendah-rendahnya sebesar upah minimum. Tetapi dalam prakteknya, di Serang, kerap kali upah minimum menjadi upah maksimal bagi buruh, tanpa mempedulikan lamanya waktu kerja. Padahal seharusnya untuk buruh yang telah melewati masa kerja satu tahun, diberikan upah sesuai dengan skala upah yang dilakukan atas kesepakatan tertulis antara serikat buruh dengan pengusaha.


4. Permasalahan Terkait Sanksi yang diatur dalam UU No. 13/2003

Hak-hak normatif buruh yang terus dilanggar tidak dapat dipisahkan dari sanksi atas pelanggaran UU No. 13/2003 tidak menjadi sebuah ”daya tekan” bagi pengusaha untuk mau taat terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya. Oleh karenanya dibutuhkan aturan yang mempertegas sanksi-sanksi dalam rangka mengejawantahkan aturan terkait sanksi di dalam UU No. 13/2003.


II. Peraturan Daerah Kabupaten Serang tentang Ketenagakerjaan sebagai Jawaban atas Permasalahan Ketenagakerjaan di Kabupaten Serang

Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk membuat peraturan yang mengejewantahkan peraturan di tingkat nasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Di dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945 dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah”

Selanjutnya, Sonny Maulana Sikumbang dalam makalahnya menyatakan: “Pada negara hukum yang demokratis, Perda merupakan alat utama pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada lembaga-lembaga di daerah. Hal ini menunjukkan sisi penting dari perancangan Perda, yaitu membentuk Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan.” Selain itu, suatu peraturan daerah harus mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapi di daerah tersebut.

Oleh karenanya, dengan masalah sosial yang ditemukan dalam komunitas buruh di Serang maka diharapkan Rancangan Peraturan Daerah mengenai Ketenagakerjaan diharapkan akan segera dibentuk dan mampu menjawab permasalahan-permasalahan sosial yang dihadapi.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas