04 April 2009

Hariyati: Srikandi Kaum Buruh


Keputusannya untuk meninggalkan bumi Serambi Mekah empat belas tahun yang lalu telah membuatnya menjadi perempuan yang bermental baja. Keteguhannya dalam memegang prinsip-prinsip perjuangan, membuatnya cukup disegani, baik kawan atau lawan. Tidak salah, bila kemudian seorang Hariyati dipercaya teman-temannya menjadi Ketua Federasi SPKEP di tempatnya bekerja.

Terlahir sebagai anak tunggal di Kabupaten Blangpidi, Aceh Selatan, tidak membuat Hariyati kecil menjadi manja. Buktinya, sosok yang sempat menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Serambi Mekkah dan Abdul Yatama ini tanpa keraguan mengambil keputusan untuk merantau ke Serang – Banten. Jauh dari kampung halaman, orang tua, dan sahabat karibnya.

“Waktu itu aku diajak Paman. Kebetulan Paman sebagai Danramil Kecamatan Kopo. Ya udah, akhirnya saya ikut. Hitung-hitung untuk menimba pengalaman…,” ujar Hariyati , mengenang.
Awalnya, Hariyati sempat menganggur selama 6 bulan. Dalam rentang waktu tersebut, tanpa kejelasan akan segera mendapat pekerjaan, sempat terbesit dalam benaknya untuk kembali ke Blangpidi. Namun jalan hidup yang harus dilalui Hariyati ternyata berada di Provinsi Banten (saat itu masih Jawa Barat), sebab dalam kebimbangan itu, ia kemudian diterima bekerja di PT. Sinlong.

“Awal-awal bekerja, membuat saya sangat kaget. Di Aceh, lewat jam 8 malam tidak ada perempuan yang keluyuran. Tetapi disini kondisinya berbeda seratus delapanpuluh derajat. Bahkan buruh-buruh perempuan bekerja dengan sistem shift, yang masuk kerja lewat jam 10 malam,” ujar Hariyati sambil menerawang kedepan. Seolah sedang membangkitkan ingatannya kembali pada peristiwa belasan tahun yang lalu.
Bagi sosok berjilbab ini, pertamakali masuk kerja adalah pergulatan batin yang sangat keras. Meski diakuinya hal itu sempat membuatnya sedih, namum dia bisa membuktikan diri bahwa ia mampu mengatasi permasalahan itu.

Kalau kita berjalan harus sampai ke ujung, adalah prinsip yang dipegang benar oleh Hariyati. Buktinya, disela-sela tanggung jawabnya sebagai Wakasie di perusahaan pencelupan benang tersebut, Hariyati juga dipercaya sebagai Ketua PUK FSPKEP PT. Sinlong. Siapa bilang perempuan diragukan kemampuannya dalam mengelola organisasi? Buktinya, di perusahaan ini, dari lima orang pengurus yang aktif, seluruhnya adalah perempuan.

Dalam upaya menambah keterampilan, Haryati juga pernah mengikuti kursus menjahit. Baginya, wanita Indonesia harus mempunyai keterampilan praktis untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya, saat ini Hariyati aktif memberikan penyadaran kepada buruh perempuan untuk berpartisipasi dalam organisasi. Baginya, hanya dengan berpartisipasi, perubahan bisa diwujudkan.

Dalam pandangan seorang Hariyati, upah yang diterima buruh saat ini sudah relatif lebih baik. Permasalahannya sampai saat ini buruh belum terbiasa mengelola anggaran secara efektif dan efisien. Seberapapun besar gaji yang diterima buruh, kalau tidak dikelola dengan benar, pasti akan kurang. Oleh karena itu, bagi saya, kita juga harus memberikan pandangan yang benar soal pengelolaan keuangan keluarga. Bukan sekedar teriak-teriak upah murah, namun faktanya bisa kredit macam-macam. Montor, kulkas, TV, rumah, dsb.
Namun begitu, Hariyati tidak serta merta melupakan orang tuanya di Kampng Halaman, sadar posisinya sebagai anak tunggal, ia mengajak ibunya tinggal bersamanya. “Ibu harus ikut saya. Biar tahu suka duka anak semata wayangnya…” ujar Hariyati menutup perbincangan dengan Garis senja itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas