21 April 2009

Keterangan Pers: Raperda Ketenagakerjaan Perlu Ditinjau Kembali

Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS), bekerjasama dengan Sekretariat Perburuhan Institut Sosial (SPIS) menyelenggarakan Focussed Group Discussion, di Cikande – Serang pada tanggal 12 April 2009. Pertemuan ini dihadiri oleh 25 orang peserta, dengan latar belakang aktivis serikat pekerja.

Dalam pertemuan ini, ada beberapa isu yang dibicarakan secara intensif, antara lain:

1. Otonomi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk membuat peraturan yang mengejewantahkan peraturan di tingkat nasional yang disesuaikan dengan kondisi daerah. Di dalam Pasal 18 ayat (8) Perubahan Kedua UUD 1945 dinyatakan: “Pemerintah pusat memberikan otonomi yang luas kepada daerah-daerah untuk melaksanakan pemerintahan masing-masing, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman yang dimiliki daerah.”



2. Pada negara hukum yang demokratis, Peraturan Daerah (Perda) merupakan alat utama pemerintah daerah untuk melakukan perubahan pada lembaga-lembaga di daerah. Hal ini menunjukkan sisi penting dari perancangan Perda, yaitu membentuk Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan.” Selain itu, suatu peraturan daerah harus mampu memecahkan masalah sosial yang dihadapi di daerah tersebut. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (UU 13/2003) tentang Ketenagakerjaan telah berlaku selama hampir 9 tahun hingga saat ini. Tetapi dirasakan bahwa UU 13/2003 memerlukan sebuah kontekstualisasi di Kabupaten Serang demi menjawab persoalan sosial yang terjadi, dan pada akhirnya diharapkan bahwa kesejahteraan masyarakat Serang meningkat.



3. Dalam kaitan dengan itu, sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2008, Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) telah melakukan riset mengenai kondisi ketenagakerjaan di wilayah Kabupaten Serang. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk merumuskan permasalahan-permasalahan utama ketenagakerjaan yang dihadapi oleh para buruh di Kabupaten Serang. Adapun permasalahan ketenagakerjaan yang ditemui selama pelaksanaan jajak pendapat tersebut, antara lain:



1. Praktek Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/sistem kerja kontrak) yang tidak sesuai dengan UU 13/2003. Buruh yang mempunyai hubungan PKWT mengalami hal-hal seperti: pemberlakuan jam kerja yang melebihi ketentuan UU, kelebihan jam kerja tidak di hitung lembur, jam kerja sering berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan perusahaan, perpanjangan masa kontrak berulang-ulang, mempekerjakan buruh kontrak untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap atau inti (core production), ruang gerak untuk bergabung dengan serikat buruh relatif terbatas dibanding buruh tetap karena takut kontraknya tidak diperpanjang. Selain itu, buruh PKWT kerap kali tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek.



2. Proses penerimaan buruh yang juga kerap menggunakan ”oknum tertentu”, sehingga buruh harus menyetor sejumlah uang yang besarnya mencapai 500 ribu s/d 2 juta agar bisa diterima bekerja.



3. Terkait dengan kebebasan berserikat. Misalnya, aktivis serikat pekerja tidak diberi dispensasi untuk mengikuti kegiatan serikat pekerja, mutasi/demosi, dsb. Selain dari pengusaha, rupanya serikat buruh pun harus berhadap-hadapan dengan Dinas Tenaga Kerja, yang seharusnya memiliki fungsi pengayom dan pengawasan terhadap hubungan industrial. Selama ini, ada indikasi Disnaker tidak tegas dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan kebebasan berserikat.



4. Sesuai dengan Pasal 14 Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) No. 1/1999 mengenai Upah Minimum, upah minimum seharusnya diberikan kepada buruh yang memiliki masa kerja kurang dari satu tahun. Selain itu, buruh yang memiliki status tetap, tidak tetap maupun dalam masa percobaan harus diberikan upah serendah-rendahnya sebesar upah minimum. Tetapi dalam prakteknya, di Serang, kerap kali upah minimum menjadi upah maksimal bagi buruh, tanpa mempedulikan lamanya waktu kerja. Padahal seharusnya untuk buruh yang telah melewati masa kerja satu tahun, diberikan upah sesuai dengan skala upah yang dilakukan atas kesepakatan tertulis antara serikat buruh dengan pengusaha.



5. Hak-hak normatif buruh yang terus dilanggar tidak dapat dipisahkan dari sanksi atas pelanggaran UU No. 13/2003 tidak menjadi sebuah ”daya tekan” bagi pengusaha untuk mau taat terhadap ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya. Oleh karenanya dibutuhkan aturan yang mempertegas sanksi-sanksi dalam rangka mengejawantahkan aturan terkait sanksi di dalam UU No. 13/2003.



4. Terkait dengan Raperda Ketenagakerjaan yang sudah diparipurnakan oleh DPRD Kabupaten Serang pada tanggal 31 Maret 2009, sesuai dengan kesimpulan FGD tersebut, untuk dan atas nama Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS) meyatakan hal-hal sebagai berikut:



1. FSBS menegaskan kembali, bahwa fungsi Perda adalah untuk menjawab permasalahan sosial yang dihadapi di daerah tersebut. Atau dalam kata lain, Perda yang efektif dan mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.



2. FSBS menyesalkan sikap Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Serang yang terkesan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk memparipurnakan Raperda Ketenagakerjaan. FSBS khawatir, Perda tersebut tidak mampu menjawab permasalahan ketenagakerjaan di Kabupaten Serang, dan justru akan membuat permasalahan baru di kemudian hari.



3. FSBS menyerukan kepada Serikat Pekerja/Serikat Buruh se-Kabupaten Serang dan pihak-pihak yang peduli pada perbaikan nasib masyarakat (kususnya pekerja/buruh) untuk membentuk semacam tack-force (kelompok kerja) yang bertugas melakukan tinjuan kritis terhadap Perda Ketenagakerjaan.



Serang, 12 April 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas