16 Maret 2009

LAPORAN HASIL RISET: PERILAKU PEKERJA/BURUH UNTUK MEMILIH CALON ANGGOTA LEGISLATIF DARI AKTIVIS BURUH DALAM PEMILU 2009


A. PENDAHULUAN
Banyaknya aktivis buruh yang terdaftar sebagai calon legislatif (caleg) dalam pemilu 2009 merupakan fenomena yang patut diberikan apresiasi. Apalagi, selama ini mereka dikenal vokal dalam memperjuangkan hak dan kepentingan kaum buruh, dan memiliki jaringan yang sangat kuat dalam komunitas buruh.

Di Kabupaten/Kota Serang, setidaknya kita mengenal 9 (sembilan) aktivis buruh yang tampil menjadi caleg. Mereka adalah Argo Priyo Sujatmiko (Sekretaris DPC FSPKEP Serang), Isbandi Anggono (Ketua KC FSPMI Serang), Ngatri (Aktivis SPN Serang), Halimi (Wakil Ketua DPC KSPSI Serang), Rahmat Suryadi (Sekretaris DPC SPN Serang), Ripi Uripno Aji (Wakil Ketua DPC FSPKEP Serang), Puji Santoso (Wakil Ketua DPD SPN Banten), A. Hafuri Yahya (Ketua DPD FSPKEP Banten) dan Syamsudin Idris (Wakil Sekjed DPP FSPKEP).

Bagaimana sesungguhnya buruh merespon pencalonan tersebut? Apa saja peluang dan hambatan yang mereka hadapi? Dalam kaitan dengan itu, riset kecil ini dilakukan untuk:
1. Mengidentifikasi peluang dan tantangan apa saja yang dihadapi aktivis buruh agar terpilih sebagai anggota legislative pada pemilu 2009.
2. Memaparkan berbagai respon/tanggapan buruh dan masyarakat umum terhadap aktivis buruh yang terdaftar sebagai caleg pada pemilu 2009.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kami mewawancarai 172 responden. Kebanyakan dari mereka adalah buruh dari berbagai perusahaan yang berbeda. Banyak diantara mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan SP/SB secata aktif. Sebagian dari mereka bahkan tidak menjadi anggota SP/SB, selebihnya adalah pekerja yang tidak menjadi anggota SP/SB dan masyarakat umum.

No Latar Belakang Responden Jumlah
Anggota FSPMI 25
Anggota FSPKEP 30
Anggota KSPSI 22
Anggota SPN 20
Anggota KSBSI 15
Pekerja bukan anggota SP 30
Masyarakat Umum 30
TOTAL 172
Karakteristik Responden

Terkadang, diskusi kami bersama responden berlangsung serius. Khususnya ketika membahas hal-hal yang sangat sensitif, misalnya terkait dengan hal-hal yang melatarbelakangi si responden untuk memilih atau tidak memilih caleg tertentu. Namun, tidak jarang kami melempar pertanyaan “sambil lalu”, untuk mendapatkan respon/jawaban spontan.





B. TEMUAN-TEMUAN RISET

1. Peluang Aktivis Buruh Dalam Pemilu 2009

a. Memiliki Jaringan

Sebagai aktivis, caleg yang berasal dari kalangan buruh relatif dikenal di komunitas pekerja/buruh. Tentu saja, ini sangat menguntungkan. Mereka sudah cukup dikenal, bahkan sebelum mengkampanyekan dirinya. Posisi ini memberikan keuntungan ganda, sebab selain sebagai buruh, mereka juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Kelihaian untuk memainkan peran ini diyakini akan mendongkrak suara. Dan model jaringan seperti inilah yang tidak dimiliki caleg lain..

Kondisi di atas didukung dengan jumlah pekerja/buruh di Serang yang sangat besar. Jaringan ini bisa diperluas pada keluarga buruh, sebagai pintu masuk untuk mendekatkan diri ke masyarakat secara luas. Meskipun mereka tidak memahami secara detail soal-soal ketenagakerjaan, namun masyarakat masih peduli dan antusias ketika diajak berdiskusi tentang masalah-masalah perburuhan. Kondisi ini dipicu oleh maraknya penggunaan buruh kontrak, borongan, outsourcing dan percaloan tenaga kerja yang berimbas pada keluarga mereka.

b. Dikenal Karena Komitment dan Integritasnya

Kedekatan dan kepedulian sang aktivis terhadap buruh juga menjadi point penting. Sebagai aktivis, caleg dari buruh mendapatkan penilaian dari awal. Bahkan sebelum mereka mengkampanyekan dirinya. Perjuangan buruh yang selalu kandas di tengah jalan, misalnya akibat intervensi pihak-pihak tertentu, membuat kader-kader SP/SB lebi tertantang untuk segera beranjak dari aksi “parlemen jalanan” menuju perjuangan secara formal melalui gedung dewan. Bagi anggota SP/SB (yang terorganisir), situasi ini mampu memantik semangat mereka dalam untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih wakil-wakil rakyat yang mempunyai integritas dan komitment kuat untuk membela kepentingan buruh.

Sebagai catatan, semangat perubahan ini di kalangan buruh yang tidak terorganisir tergolong rendah. Dikenal, memang menguntungkan. Namun disini pula letak kelemahan caleg aktivis buruh. Bagi aktivis yang sekedar mencari popularitas dan kepentingan pribadi di SP/SB, responden cenderung untuk tidak memilih mereka. Bahkan sebelum pemilu dilakukan. “Kalau dalam pemilu nanti memilih si A, sama aja bohong…”, ujar seorang responden.

c. Sudah Mewakili Aspirasi Masyarakat (buruh), Jauh Hari Sebelum Duduk di Kursi Legislatif

Bila calon lain mengatakan, bahwa mereka belum bisa memberikan bukti keberpihakannya kepada rakyat karena belum menjadi anggota dewan, lain halnya dengan sang aktivis. Jauh sebelum pemilu dilakukan, mereka sudah berjuang membela hak dan kepentingan masyarakat. Mereka sudah berfikir dan melakukan tindakan konkret untuk mensejahterakan buruh dan keluarganya. Mereka dikenal, besar dan dibesarkan dari buruh. Kursi legiskatif bukanlah tujuan, namun sebagai alat. Alat untuk mencapai tujuan, terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik.


2. Hambatan Aktivis Buruh Dalam Pemilu 2009
o Sebagian besar responden menyatakan untuk “golput” dalam pemilu mendatang. Hal ini sebagai respon atas rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik. Mereka tidak percaya pemilu akan merubah nasib dan memberikan perbaikan pada tingkat kesejahteraan. Ketidakpedulian bagi semua hal yang berbau politik tidak hanya dilakukan buruh, tetapi juga menggejala di tengah-tengah masyarakat. Ini memang berita buruk bagi demokrasi. Tetapi itu semua akibat dari reaksi rasional dari beban hidup yang semakin lama semakin sulit. Sementara di atas sana, para pemimpin tidak menunjukkan simpati dan keberpihakan kepada rakyat.

o Dikenal, memiliki jaringan hingga ke akar rumput, memang sangat menguntungkan. Namun, hal ini sekaligus menjadi sisi kelemahan mereka. Di tengah lemahnya budaya pengorganisasian SP/SB dan “gagalnya” perjuangan buruh membendung kebijakan fleksibilitas pasar tenaga kerja, menjadi alasan bagi buruh untuk tidak mempercayai bahwa aktivis mereka pun sanggup membuat perubahan. Hubungan kerja yang fleksibel telah melemahkan posisi tawar buruh, menghancurkan serikat buruh karena banyak kehilangan anggotanya yang di PHK, dan perubahan status tetap menjadi tidak tetap. Buruh yang merasa “dihianati” karena hak-haknya tidak diperjuangkan secara maksimal, cenderung anti pati dan menolak caleg dari aktivis buruh.

o Adanya kecemburuan bagi buruh, bila aktivisnya duduk dalam posisi ”lebih terhormat”. Sebagian besar respondent menghendaki aktivisnya berada dalam posisi setara dengan mereka, sehingga enggan memilih aktivis buruh dalam pemilu nanti. Hal ini juga nampak, misalnya buruh tidak rela bila pemimpinya menduduki ”jabatan penting” di perusahaan, menggunakan mobil, dsb.

o Definisi buruh, yang diharapkan menjadi pendukung utama aktivis buruh juga patut dipertanyakan. Apalagi, buruh yang tidak terorganisir jauh lebih besar. Tingkat popularitas aktivis buruh di tingkat fungsionaris (pengurus PUK dan DPC) memang sangat tinggi. Namun di level basis, popularitas ini menurun tajam. Hal ini disebabkan belum adanya kesadaran politik bagi buruh. Apalagi peran SP/SB dirasa belum optimal dalam memberikan ”penyadaran politik”.

o Rekruitment tenaga kerja yang menggunaIronisnya, untuk bisa diterima bekerja, buruh harus membayar dengan sejumlah uang. Pengalaman yang terus berulang ini mengantarkan pada kesimpulan, bahwa selama ini buruh berjuang sendirian. Peran Pemda dan DPRD nyaris tidak terlihat dalam kasus-kasus di atas.

o Hal yang tidak kalah sensitif adalah terkait dengan keberadaan kader dan simpatisan Partai Politik di kalangan buruh. Hal ini mengingat, sebagian besar kader dan simpatisan Parpol di tingkat daerah juga seorang buruh. Bila tidak diperhitungkan secara cermat, kondisi berpotensi menimbulkan benturan, yang justru akan semakin melemahkan. Apalagi bila digunakan pihak-pihak tertentu untuk melakukan kampanye hitam, SP/SB sudah dijadikan tunggangan politik.

o Money politik, telah menciderai makna demokrasi itu sendiri. Kondisi ini seakan menutup jalan bagi caleg yang berkualitas untuk mendapatkan kursi legislative. Lagi-lagi, modal-lah yang akan memainkan peran penting. Dan itu tidak dimiliki buruh.


C. ANALISIS
Jelas sekali, faktor utama yang nampaknya akan menjegal aktivis buruh sebagai anggota legislatif adalah faktor persepsi yang salah dari para buruh itu sendiri. Dalam kaitan dengan ini, caleg dari aktivis buruh harus melakukan penguatan terhadap faktor-faktor internal. Factor-faktor yang bersentuhan langsung dengan kepentingan-kepentingan buruh. Misalnya dengan menggugah kesadaran politik buruh.

Bila jaringan kepada komunitas buruh bisa dioptimalkan, itu sudah cukup untuk mengantarkan caleg buruh duduk di kursi dewan.



D. REKOMENDASI

1. Gerakan Buruh Pilih Buruh
Kekuatan serikat buruh terletak pada anggota (yang terorganisir). Kaum buruh itu sendiri. Oleh karenanya, keberadaan aktivis buruh di sebagai caleg dalam pemilu 2009 harus dimaknai sebagai bagian untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan kaum buruh. Buruh Pilih Buruh harus menjadi ”gerakan”, bukan sekedar slogan semata.

2. Memenangkan Kepentingan Buruh
Banyaknya aktivis buruh yang diminta menjadi caleg dalam pemilu 2009 menjadi sebuah pembuktian bahwa kekuatan kaum buruh cukup diperhitungkan. Oleh sebab itu, pemilu juga harus dimaknai sebagai kampanye untuk membumikan isu-isu ketenagakerjaan. Dengan demikian, apapun hasilnya, kepentingan buruh tetap kita junjung tinggi. Minimal masyarakat akan semakin paham, bahwa aktivis buruh tampil untuk memberikan solusi. Bahwa tidak benar organisasi buruh lebih banyak menyebabkan masalah daripada mengatasi masalah.

Ketegasan dan kejelasan sikap inilah yang akan membedakan politisi pro buruh dan yang bukan. Sehingga masyarakat akan mempunyai alasan yang jelas pula, mengapa mendukung buruh, dan bukan yang lainnya.


3. Membangun Jejaring Buruh Menyongsong Pemilu 2009
Momentum pemilu tidak boleh dilewatkan begitu saja,. Oleh karena itu, simpul-simpul kekuatan pekerja/buruh di Kab./Kota Serang harus bersatu. Bahu-membahu dalam mengusung dan memenangkan aspirasi kaum buruh.

Jejaring politik perlu dirajut, lintas komunitas. Buruh harus keluar, dari apa yang disebut oleh Michael Lerner sebagai tuna kuasa. Sebab bahaya dari sikap tuna kuasa ini sangat besar. Kata Lerner, anggapan atau persepsi tuna kuasa dapat menimbulkan berbagai efek negatif dalam kehidupan sosial. Anggapan tuna kuasa menyebabkan seseorang tidak ingin mengadakan perubahan yang seharusnya dapat dilakukan. Berbagai kekurangan, ketidakadilan, dan penyewengan kekuasaan dipandang sebagai “kenyataan”. Karena kenyataan, ada rasa khawatir akan kalah, tersingkir, dan dikesampingkan orang lain. Kekhawatiran ini akan terbukti dan menjadi self-fullfilling prophecy ketika orang bertindak selaras dengan anggapan dan rasa khawatir tersebut.

Rasa apatis, lemah, tidak berdaya, tidak boleh menghentikan langkah kita untuk memperjuangkan perbaikan. Selama ini kaum buruh cukup membuktikan diri sebagai jiwa-jiwa yang tidak patah menghadapi tantangan. Buktinya, perlawanan terus dikorbankan, manakala hak-hak mereka dinistakan. Oleh karenanya, pilihan untuk memenangkan aspirasi buruh dengan memilih pejuang-pejuang buruh merupakan sebuah keniscayaan. Sementara mereka yang hanya mengumpulkan suara kaum buruh, tanpa memberikan solusi konkret dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan ketenagkerjaan, tidak layak mendapat dukungan buruh.


FSBS_2008





































Untuk mendapatkan informasi lebih lanjut terkait dengan Kertas Posisi ini,
mohon menghubungi:

Forum Solidaritas Buruh Serang (FSBS)
Sekretariat: Jl. Raya Serang – Jakarta Km. 65 (Depan Kantor BRI Cikande)
Kampung Kademangan RT 01/03 Desa Parigi. Serang – Banten 42186
E-Mail: SuaraSolidaritas@gmail.com Hotline: 081807165440
Http://suarasolidaritas.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas