25 November 2009

Kepemilikan Rumah Bagi Pekerja

Rumah adalah tempat dimana kita menitipkan hati. Disana kita merasa nyaman, tenang, teduh, dan selalu ingin kembali setiap saat kita pergi meninggalkannya. Pendek kata, rumah adalah tempat istimewa yang tak ada duanya di dunia.

Bagaimana tidak? Di rumahlah sebuah generasi baru lahir. Di dalam rumah pula pendidikan pertama dimulai, komunikasi dan hubungan antar anggota keluarga dilakukan, juga nilai-nilai budi pekerti ditanamkan. Seorang istri menjadi permaisuri di rumahnya, dan seorang ayah menjadi raja serta panutan di rumahnya. Rasanya semua itu tidak akan didapati bila terus berada di kos-kos an, kontrakan, dan lain segalanya.

Pencanangan Provinsi Banten sebagai Gerbang Investasi Indonesia, tentunya juga semakin memicu meningkatnya kebutuhan terhadap rumah. Terutama bagi tenaga kerja yang berasal dari luar daerah. Oleh karenanya, kepedulian pemerintah untuk menyediakan rumah layak bagi warga negaranya harus dioptimalkan.

Apalagi, konstitusi negara kita mengamanatkan hal itu. Dalam Pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 disebutkan, ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan.” Selain Pasal 28 H UUD 1945, terdapat juga Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas dan Undang-undang Bangunan Gedung Tahun 2003 yang mewajibkan pemerintah daerah memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses pada rumah. Semua arahan konstitusi itu memberi aksesibilitas rumah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Permasalahan perumahan tidak saja dimaknai bagi masyarakat yang belum memiliki rumah. Namun juga bagi mereka yang sudah tercatat memiliki rumah, namun kondisinya tidak layak. Misalnya terkait dengan rumah yang dihuni melebihi kapasitas, tingkat kepadatan yang amat tinggi di daerah tertentu, hilangnya ruang publik, dan sebagainya.

Kontrakan Masih Menjadi Primadona

Menyimak konstitusi sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, seharusnya akses untuk memiliki rumah semakin dipermudah. Apalagi Kementerian Perumahan Rakyat juga memberikan subsidi bagi masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang ingin memiliki rumah.

Sebagai bahan study, kita bisa melihat kondisi para pekerja/buruh yang tersebar di berbagai industri di Wilayah Banten. Kendati Dinas Tenaga Kerja juga memberikan subsidi, bahkan ada fasilitas/kemudahan yang diberikan PT. Jamsostek untuk memberikan pinjaman uang muka perumahan, namun realitasnya masih banyak yang tidak bisa memanfaatkan kemudahan ini.

Lihat saja di sekitar kawasan industri, masih banyak pekerja yang tinggal di rumah petak, kost-kost an, atau kontrakan. Beberapa diantaranya dengan lingkungan yang tidak sehat. Kumuh. Karena memang terlalu padat dan kurang terawat.

Memang, sebagaian dari mereka beranggapan, cara ini lebih gampang. Kebanyakan kontrakan atau tempat kost dalam kondisi siapa pakai, sehingga tidak perlu bertele-tele mengurus administrasi dan membayar tagihan rekening listrik. Terutama bagi yang masing lajang, kontrakan menjadi tempat tinggal yang favorit. Harga sewa rumah yang bervariasi, membuat mereka lebih leluasa untuk menyesuaikan dengan kondisi keuangannya. Misalnya dengan menggunakan pola three in one, dimana satu rumah dipakai bertiga, sehingga per orang bisa membayar jauh lebih murah.

Namun ada juga yang memilih kontrakan, karena pertimbangan praktis. Dekat dengan tempat kerja. Apalagi kebanyakan perumahan berlokasi jauh dari tempat kerja. Bila tidak berhitung dengan cermat, bisa jadi ongkos transportasi yang dibutuhkan akan membengkak.

Namun begitu, hal mendasar yang membuat buruh bimbang untuk membeli rumah adalah tidak adanya kepastian kerja. Status kerja sebagai buruh kontrak/outsourcing, membuat mereka khawatir tidak bisa melanjutkan angsuran jika tiba-tiba kontrak kerjanya selesai. Kondisi ini ditambahkan dengan faktor rendahnya upah.

Permasalahan kememilikan rumah bagi masyarakat memang kompleks. Namun apapun itu, kebutuhan akan rumah adalah sebuah keniscayaan. Memiliki rumah adalah kenyataan apabila persoalan pendapatan, kepastian pekerjaan, dan adanya kepedulian yang nyata dari pemerintah. Namun akan menjadi sebuah impian manakala kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhanam tingginya bunga kredit,maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif, hingga rendahnya daya beli masyarakat (*)

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Tangerang Tribun

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas