23 November 2009

Unjuk Rasa Bagian Dari Demokrasi

Oleh: Kahar S Cahyono

Opini Tangerang Tribun 8 Oktober 2009 yang berjudul “Jangan Jadikan Agama Sebagai Kedok Politik” menarik untuk ditanggapi. Dimana dalam tulisan tersebut, menyebutkan bahwa unjuk rasa sejumlah orang yang mengatasnamakan ormas Islam untuk menolak penetapan Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang dengan menggunakan alasan agama merupakan pengingkaran terhadap kemajemukan kita sebagai bangsa dan menunjukkan ketidakdewasaan dalam berbangsa.

Di sana menyebutkan bahwa aksi pada hari Senin 5 Oktober 2009 terjadi atas suruhan oleh oknum yang tidak senang dengan ditetapkannya Herry Rumawatine sebagai Ketua DPRD Kota Tangerang. Saya berprasangka baik, penulisnya mempunyai data yang cukup ketika menyampaikan statement itu. Namun begitu, satu hal yang dilupakaan adalah, unjuk rasa merupakan sesuatu yang sah dalam iklim demokrasi. Unjuk rasa juga berfungsi sebagai media dalam menyampaikan argumentasi dan ketidaksetujuan masyarakat terhadap sebuah keputusan.

Apakah ketika sebuah elemen masyarakat berunjuk rasa menolak sebuah Perda atau Undang-undang bisa diartikan sebagai sebuah sikap ketidakdewasaan dalam berbangsa? Padahal Perda dan Undang-undang tersebut dibuat melalui proses panjang dan mendapat persetujuan dari anggota DPR, wakil rakyat? Apakah buruh yang merunjuk rasa menolak keputusan UMK juga bisa dikatakan sebagai tidak menghargai demokrasi? Padahal proses penetapan UMK melalui pembahasan oleh Dewan Pengupahan, dimana perwakilan buruh juga duduk didalamnya?

Pemilihan ketua DPRD merupakan keputusan dari anggota. Dalam hal ini anggota DPRD Kota Tangerang. Maka dengan analogi di atas, mereka yang tidak terdaftar sebagai anggota DPRD, tetapi menyadari keputusan itu mempunyai dampak bagi kepentingannya, sangat wajar bila melakukan unjuk rasa untuk menyampaikan aspirasinya. Justru kalau hal ini dihalang-halangi, saluran demokrasi tersumbat. Dan perlu dicatat, ini murni menyampaikan aspirasi. Dilakukan dengan santun, tidak untuk mengkudeta, apalagi berbuat kerusuhan dan anarkis.

Agaknya yang menjadi perhatian benar adalah soal politisi yang menggunakan sentimen agama untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam hal ini, saya sepakat, bahwa agama jangan hanya dijadikan sekedar kedok. Tetapi justru agama harus menjadi landasan dalam berpolitik. Hitam putihnya politik dilihat dari kaca mata agama, karena di dalam agamalah segala kebaikan diajarkan.

Perhatikan sosok SBY dengan Partai Demokratnya yang mencitrakan diri sebagai Nasionalis Religius, mendapat simpati dan dukungan besar dari rakyat. Ya, Nasionalis Religius. Nasionalis yang berketuhanan (religius), yang membawa-bawa agama (Tuhan merupakan representasi dari agama) dalam berpolitik. Mengapa tidak ada protes? Sementara partai lain yang secara tegas berlandaskan agama (Islam), mengapa selalu dibombardir dengan kritik tajam?

Adalah tidak tepat mencontohkan Founding Father ketika merumuskan dasar negara sebagai tolak ukur kedewasaan bernegara. Dimana mereka mayoritas muslim, tetapi ketika ada keberatan dari kalangan non muslim yang menolak dimasukkannya tujuh kata dalam pembukaan Undang Undang Dasar mereka rela menghapus tujuh kata “Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya “. Perlu ada diskusi lebih panjang soal ini. Apakah pencoretan tujuh kata itu merupakan sebuah “kerelaan”, atau justru dilakukan dengan cara “menelikung” dan tidak sesuai dengan etika musyawarah/ mufakat?

Pendek kata, saya ingin mengatakan, bahwa jangan mengaitkan aspirasi masyarakat yang menyandarkan sikap politiknya berdasarkan ajaran agama membahayakan NKRI. Umat Islam mencintai persatuan, dan diajarkan untuk tidak memutuskan tali silaturahmi.(*)

Catatan: Pernah dimuat di Tangerang Tribun, Edisi 13 Oktober 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kembali lagi ke atas